3. She

15 2 1
                                    

Untungnya, hujan baru menyentuh Jakarta di malam hari. Tepat ketika aku sampai di apartemen.

Tadi siang saat awan menggantung begitu tebal sepanjang hari, aku dan Fatiha sudah was-was akan hujan lebat yang mungkin turun. Fatiha berencana akan pergi menemui vendor yang mengatur pernikahannya bersama tunangannya di tempat yang cukup jauh dari kantor, dan tentu saja perempuan itu malas pergi kalau sampai hujan lebat turun.

"Hujan-hujan jalan keluar itu malesin. Apalagi ketemu orang. Mending juga kelonan sama ayangbeb di kamar." Omel Fatiha tadi.

Aku menggeleng-geleng sambil tertawa mendengar omelannya, "Enggak bener lo. Belum boleh berduaan di kamar, apalagi sambil kelonan. Dilarang agama lho." Kataku, lagi sok bijak.

"Ya kan, icip-icip aja dulu Dis. Gak apa kali asal gak ketahuan." Balas Fatiha, makin sableng lagi, membuat kami kembali tertawa. "Eh lo ikut aja entar kalau hujan. Lo juga bakal nongkrong dulu kan di kantor sampai reda, mending sekalian jalan aja sama gue."

"Gak apa nih? Kan itu lo pergi berdua sama Rizal." Aku menatapnya ragu.

Fatiha mengibaskan tangan santai, "Alah, lo kayak gak pernah jalan sama gue sama Rizal aja. Lo sekalian bantu gue pilih-pilih, kasih saran gitu. Si Rizal kan sering pasif kalau ditanya mau apaan. Entar pulangnya dianterin deh." Bujuknya.

Tadinya, aku sudah menerima tawaran itu. Namun saat hujan tidak nampak akan turun saat kami pulang, aku memilih untuk tidak ikut. Pertama, karena hujan tidak jadi turun dan tidak ada alasan bagiku untuk pergi memutar menghabiskan waktu hingga aku sampai di apartemen. Kedua, karena aku sebetulnya agak kelelahan setelah lembur berhari-hari dan benar-benar ingin langsung pulang.

Dan ketiga, alasan paling besar dan yang paling jujur, adalah karena aku sebetulnya merasa sedikit miris untuk ikut Fatiha bersama tunangannya membicarakan tentang pernikahan mereka.

Karena, kalau aku dan Ivan tidak putus enam bulan yang lalu, mungkin aku sendiri juga akan melakukannya sekarang. Bertemu vendor pernikahan, dan membicarakan detail-detail lebih lanjut tentang acara yang akan terjadi sekali seumur hidupku.

Tapi, tentu saja. Aku sekarang sendiri, dan itu tidak akan terjadi. Setidaknya tidak dalam waktu dekat.

Aku meletakkan bungkusan fast food di sampingku di sofa sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Aku membaca beberapa notifikasi yang masuk, mulai dari email hingga chat di WhatsApp, lalu aku mencari nama Ivan di situ.

Dan aku berhenti, tepat sebelum jariku memencet tombol call yang tertera.

Damn, the old habit bite again. Aku sering sekali tiba-tiba jadi seperti ini.

Malam-malam, sendiri di apartemen studioku sepulangnya dari kantor. Kaki mulai selonjoran di sofa di hadapan tv sementara tv-nya kubiarkan menyala hanya supaya ruangan ini terisi oleh suara. Scrolling-scrolling  Twitter dan melihat-lihat reels Instagram, bulak-balik dari satu aplikasi ke aplikasi yang lain sampai aku kehabisan hal-hal yang bisa kulihat. Dan tanpa sadar, aku sudah mengetik namanya di kolom pencarian WhatsApp, bersiap mengetik hal yang akan kuberitahu padanya tentang apa yang kulalui selama satu hari, seperti tadi.

Sial.

Aku pernah mendengar bahwa ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa hanya dibutuhkan tiga bulan untuk melupakan mantan. Sekarang sudah enam bulan, namun masih banyak yang tidak berubah dari kebiasanku sejak kami putus. Dia masih di pikiranku, dan aku masih mencarinya. Dia masih jadi orang pertama yang akan kucari setiap aku ingin menceritakan sesuatu.

Screw that research. They know nothing about breaking up.

Saat dua orang memutuskan sebuah hubungan, ada lebih banyak dari sekedar ikatan yang terputus.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Life After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang