Dua

70 15 0
                                    

Seminggu kemudian, kamu putus dengan pacarmu. Aku tanya, "kenapa?"

Lalu kamu menjelaskan, katamu kamu cemburu melihatnya berkirim pesan dengan lelaki lain. Kamu tidak tahan saat dia mengabaikanmu. Beribu pesan sudah kau kirim padanya, kamu rindu dia. Tapi jangankan dibalas, dibaca saja tidak.

Aku mengangguk-angguk saja. Bingung mau berucap apa. Apakah aku harus memberi selamat? Sebab kulihat kamu begitu tersiksa seminggu belakangan ini karena pacarmu mengabaikanmu.

"Yess! Dia putus dengan pacarnya!" Hati bersorak sorai.

"Kenapa kau malah senang, bodoh? Dia sedang bersedih tapi kau malah ingin menari. Dasar egois!" Otak mendengkus.

"Astaga, kau benar. Bisa-bisanya aku senang mendengar Gara putus dengan pacarnya. Sahabat seperti apa aku ini?" sesal sang Hati.

"Iya, sahabat seperti apa kau ini? Mana ada sahabat yang senang jika temannya sedih," Otak masih berkata sinis.

"Hati, Otak, bisakah kalian menjauhkan Gara dariku? Aku akan hilang kendali," Jantung menginterupsi. Sungguh, dia akan meledak sepertinya.

"Bukannya kau sudah hilang kendali saat bertemu tatap dengannya?" Otak mengernyit bingung.

"Iya memang, tapi debarku semakin menjadi-jadi. Ada rasa senang dan sedih yang memberikan perih," jelas Jantung.

"Kau baik-baik saja?" Otak bertanya ragu-ragu.

"Tentu saja dia baik-baik saja, iya kan, Ntung?" Hati menatap Jantung.

"Aku... Tidak tahu..." Jantung sepertinya akan terisak.

Lalu obrolan tak berarah-tuju pun terjadi. Kamu bercerita tentang orang tuamu, abangmu, kakakmu, teman-temanmu. Aku hanya merespon seadanya.

Bukannya aku ini pendiam atau apa, hanya saja kamu itu membosankan.

Oh maafkan aku, tapi kamu memang membosankan. Aku bahkan tidak bisa membedakan apakah kamu sedang melucu atau bercerita biasa (karena kamu memang tidak lucu).

Aku nyaris menahan kantuk setiap kali mendengarmu bercerita. Leluconmu segaring nyanyian Nina Bobo bagiku.

Tapi seperti kataku tadi, aku akan selalu ada. Akan selalu mendengarmu jika kau butuh.

Sebenarnya aku belum bisa menganggapmu sahabat. Karena disini, aku tahu semua kisah hidupmu. Namun kau sama sekali tak tahu apa-apa tentangku. Kamu sepertinya bukan pendengar yang baik. Entahlah, aku belum pernah mencoba bercerita padamu.

Lagipula aku takut, jika kau tahu kisah hidupku, kau akan jauh. Akan jijik nyaris muntah memandangku. Jadi biarlah aku mengubur rapat-rapat masa laluku saat berhadapan denganmu.

Dulu kita hanya sebatas ketos dan wakilnya sebelum dekat sebagai sahabat. Sebelum ada sesi curhat, sebelum hatiku disinggahi rasa laknat.

"Hei, cinta tidak laknat!" bantah Hati.

"Tapi bikin bodoh!" ejek Otak.

Aku ketos dan kamu wakilnya. Bisa kau bayangkan? Aku adalah si petakilan yang terpaksa mencalonkan diri menjadi ketos. Dan sialnya, aku menang.

Kampret memang.

Saat itu aku terpaksa mencalonkan diri karena perintah guru terkiller. Jadilah aku bersungut-sungut menyusun pidato. Hampir saja aku salto saking payahnya aku bersikap formal.

Tapi kamu lebih parah.

Kamu itu pemalu. Sangat pemalu.

Kamu gugup saat di atas podium, mukamu pucat pasi, keringat sebesar buah kelapa menetes di dahi. Naskah pidatomu bergetar karena kamu gemetar.

Semua menertawakanmu,

Tapi aku tidak.

Semua mengejekmu,

Tapi aku tidak.

Kau tahu kenapa?

Karena aku juga gugup. Hehehehe.

Kita berawal dari organisasi yang menurutku sangat membosankan. Namun sekarang organisasi itu tak lagi membosankan karena ada kamu.

Walaupun kamu juga membosankan, sih.







Ceritanya memang singkat. Pertemuan kami singkat, hanya saja ada rasa yang singgah lalu melekat. Ah lupakan. Kata Otak, itu rasa laknat. 

ADISKIDEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang