PUSAT atensi himpunan siswa dan siswi SMA Garuda Sentosa serentak teralih ketika suara klakson terdengar lantang dari arah luar pelataran sekolah. Tidak sedikit dari mereka mulai merapatkan diri dengan teman sepantar, kendati belum juga berminat untuk bertolak dan melepaskan atensi dari prosesi unik nan mengerikan; rutinitas ganjil SMA Garuda Sentosa semenjak tiga semester yang telah lalu.
Refleks pilomotor para saksi kontan tak terelakkan. Sensasinya luar biasa hadir, melampaui tolok ukur, sukses menggentarkan adrenalin seantero divisi sekolah. Presensi kendaraan bertingkat dua tersebut membuat segenap entitas manusia di sekitarnya menolak ingat cara untuk bernapas, terutama saat bagian dalam karavan mulai terekspos secara perlahan.
Bukan kepalang tanggung, atmosfer kengerian kian merebak pada detik itu juga. Empat tenaga medis lekas turun dari dalam karavan, bergerak lasak di antara kerumunan pergolakan batin dalam ketenangan yang sama sekali tidak wajar. Hanya dengan mengandalkan keahlian tangan berkulit badak dan bertenaga gergasi, keempatnya mulai menurunkan sebuah peti mati berukuran kurang lebih satu koma enam puluh lima meter.
"Kelas kakak masih di kelas biasa, ya!"
Dengan suara lantang, Igor Amatory sukses mengalihkan atensi siswa dan siswi SMA Garuda Sentosa dari kotak jenazah tersebut. Cowok itu masih setengah duduk di ambang pintu depan karavan ketika dia menunjuk bangunan sekolahnya dengan dagu, mengarahkan keempat tenaga medis untuk mengusung peti mati itu menuju kelas sang kakak.
Igor merenggangkan tubuh sejenak, baru turun sepenuhnya dari karavan dan lekas melintasi pelataran sekolah untuk menuju kelasnya sendiri. Para tenaga medis tidak lagi terlihat, lantaran arah kelas Igor berlainan dengan arah yang akan keempatnya tuju. Sepanjang perjalanan di koridor menuju kelas MIPA X-II, cowok itu tidak benar-benar menghiraukan berpasang-pasang mata yang terkesima akan wajah rupawannya.
Pikiran Igor hanya tertuju kepada satu sosok yang telah menarik penuh atensinya, yakni—
"Oit, Gor! Oh, man, makin gede aja lo sehabis liburan!"
Igor menolak untuk tidak tersenyum. Dia terlampau payah dan lemah sekadar berhadapan dengan cinta pertamanya—seorang cowok gagah perkasa yang tidak pernah luput dari senyum jenaka dan lontaran kalimat bernada sarkastis. Segala aspek yang hadir dari figur tersebut sangatlah memikatnya, sekaligus merusak garis takdir yang telah Tuhan anugerahkan kepada seluruh umat fana-Nya.
"Oit, Peta! Lo kira cuman lo doang yang ototnya boleh makin gede, man?"
Bersanding dengan tubuh jangkung Atlas Dirgantara yang berselisih kurang lebih tujuh senti darinya tidak lantas membuat diri Igor terlihat ciut. Rangkulan bersahabat dari tangan kukuh Atlas diam-diam menciptakan desiran halus di dalam dada Igor. Tidak lama setelahnya, perasaan senang bercampur nyeri mulai terbit. Senang lantaran mereka kembali bersua dan nyeri lantaran Igor tidak mampu mengekspresikan kerinduan cowok itu secara gamblang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ignorantly Cursed √
القصة القصيرة*PEMENANG KONTES SONG FICTION LYID 2019* 〔COMPLETED〕- SONG FICTION | YOUNG ADULT Stereotip mengenai abnormalitas kerap kali berakhir dengan gunjingan dan bahan olok-olokan masyarakat. Kekontrasan antara mayoritas dengan minoritas tentunya tidak...