Jangan Pernah Melompat ke Genangan Air
[][][]
Kepalaku terantuk lantai yang sudah pasti lebamnya akan membekas berhari-hari. Belum hilang rasa nyeri dirusukku, kepalaku mulai dilanda pening. Titik-titik hitam pun merambati penglihatanku perlahan.
Ketika kesadaranku mengalami pasang surut, sepasang kaki yang tak mengenakan alas nampak berdiri tepat didepan wajahku. Beberapa detik kemudian dua tangan mencengkeram erat lenganku dan mengangkat badanku secara paksa. Sial, rasanya tubuhku tidak berdaya karena deraan rasa sakit di kepala serta kakiku. Indera pendengaranku pun memburuk akibat tamparan angin kencang.
Aku mengangkat pandangan dan menemukan sepasang mata menatapku. Mata itu... aku bersumpah benar-benar menakutkan. Pertama-tama kukira mataku sedang bermasalah, tetapi setelah mengedipkan mata berapa kali pun warna putih yang seharusnya memenuhi matanya tergantikan warna merah darah. Segaris hitam ditengah matanya pun mengingatkanku pada mata ular yang bercahaya di kegelapan.
Ditengah kekacauan ini pita suaraku mendadak tidak berfungsi. Telapak tanganku bergetar ketakutan kala lidah runcingnya berputar melingkari bibir hitamnya. Sial, kuharap dia tidak sedang lapar atau aku yang akan disantapnya.
Insting mengarahkan bola mataku untuk menghindari sosok aneh dihadapanku dan berlarian memandang sekelilingku untuk meminta bantuan. Hingga aku menemukan seorang pria paruh baya sedang berpegangan disisi panggung. Sial, sial, sial, seseorang kumohon tolong aku.
"Lepaskan dia!" Pekik pria paruh baya itu yang setelah kuperhatikan ternyata merupakan guru sejarah disekolahku. Rambut keritingnya yang dipotong agak cepak seakan tersisir kebelakang oleh angin. Ia menyipitkan mata, berusaha menghalau debu. Terkadang tubuhnya menghindar dari topi-topi toga yang beterbangan.
Pekikan guruku membuat si mata ular sedikit menolehkan kepala. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba sebuah benda menimpa tubuhku dan si mata ular dengan keras. Cengkeraman si mata ular pun terlepas dan menyebabkan badanku terhempas ke lantai. Nyeri merambati kepalaku yang terantuk keramik untuk kedua kalinya.
Tunggu, ini bukan benda.. ini adalah.. air?
Ya, ini air. Seluruh pakaianku basah terkena terjangan air dari atas kepalaku. Layaknya terkena guyuran air dari ember raksasa saat dulu aku bermain di wisata air. Tapi, darimana asal air sebanyak ini.
Dengan posisiku yang tergeletak di lantai, aku melihat ke atas dan menemukan bulatan air raksasa mengambang. Bulatan itu terlihat tidak stabil dan melepaskan banyak sekali percikan. Anehnya, si mata ular terkurung di dalam bulatan itu. Matanya membelalak sedangkan tangan dan kakinya bergerak acak layaknya orang akan tenggelam.
Aku menatap bulatan air itu dengan terkejut. Apakah ini mimpi? Diam-diam aku mencubit pinggangku dan aww itu sakit. Berarti ini nyata. Lalu bagaimana bisa membuat bulatan air seperti itu tanpa alat apapun. Ataukah sebenarnya ada alat yang tersembunyi sebagai bagian dari pertahanan gedung ini. Ck, konyol.
"Areta!" Pekik seorang lelaki. Lantai disekitarku masih basah terkena terjangan air tadi, pakaianku pun sudah tak karuan bentuknya. Aku memaksa sendi-sendi yang ada ditubuhku untuk duduk. Tapi argh, rasanya aku baru saja mendengar beberapa titik ditubuhku menjerit kesakitan.
Derap langkah terdengar semakin dekat. Aku menoleh dan menemukan Arai berlari kearahku. Rambutnya berantakan dan toganya raib entah kemana. Ia hanya mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung asal hingga ke siku serta celana panjang hitam.
"Areta, kau baik-baik saja?" Ucap Arai sambil terengah-engah. Ia berjongkok disampingku, membantuku duduk. Alisnya bertaut dan wajahnya entah mengapa menampakkan sirat terguncang.

KAMU SEDANG MEMBACA
AETHER
ФэнтезиTrilogi Academy ----- Terdapat lima unsur atau elemen yang dipercaya membentuk seluruh benda di alam semesta, yakni kayu, api, tanah, logam dan air. Hubungan antara kelima elemen ini membentuk siklus energi murni yang senantiasa berputar. Namun, ter...