- 1 -

37 2 2
                                    

Areta Saskara

[][][]

Pernah kudengar kisah dari kakak sulungku yang kini tidak aku ketahui antah berantahnya. Ia bercerita tentang perpustakaan daerah yang kecilku dulu sering kudiami tiap-tiap memiliki waktu luang. Dia berkata, di salah satu sudut perpustakaan terdapat jalan menuju dunia lain dimana sihir benar-benar nyata. Namun, jalan menuju dunia itu dijaga oleh sosok hantu yang mengambil raga manusia dan konon dapat melebarkan mulutnya hingga seukuran anak balita. Kakak tak bertanggung jawab itu menekankan bahwa si hantu penjaga memiliki hobi memakan anak-anak manusia yang gemar berleha-leha disana.

Lalu, apakah aku mempercayainya? Tentu saja. Jangan lupakan fakta bahwa saat itu umurku baru beranjak tujuh. Karenanya aku tak berani lagi berlama-lama duduk di perpustakaan daerah. Setelahnya ketika aku berada di perpustakaan aku dengan cepat menyambar buku, mengisi form peminjaman, dan melesat keluar gedung perpustakaan. Sering kutengok petugas yang berjaga menggelengkan kepala saat melihatku tergopoh-gopoh berlari keluar perpustakaan.

Cerita ini berubah manakala aku mulai menempuh sekolah menengah pertama. Sejak kakak sulungku pergi meninggalkan keluarga tanpa sekalipun berpamitan padaku, sejak saat itu pula kisah hantu bermulut lebar sirna dari memoriku. Hanya ada luap kekecewaan dan kemarahan jika aku tanpa sengaja mengingat sosoknya.

Oleh karenanya, ketika aku menemukan secarik kertas berwarna biru diatas meja yang menjelaskan bahwa kakak keduaku juga pergi meninggalkanku, rasanya aku mau mati saja. Ya, mati dan menemui orangtuaku yang lebih dulu berada disana.

Tak berselang lama setelah kutemukan surat petaka itu, paman dan bibi menelpon. Mereka mengatakan bahwa ia--kakak keduaku-- pergi dengan tergesa-gesa setelah mengetahui keberadaan kakak sulungku. Cih, apa ia masih bisa kusebut kakak?.

Aku benci. Benci sebenci-bencinya. Entah mengapa semua hal yang kumiliki di dunia ini bersekongkol untuk meninggalkanku.

Akhirnya setelah menimbang, menghitung, memperkirakan, dan memikirkan baik buruknya, aku memutuskan untuk tetap bertahan hidup. Ya, berjuang untuk diriku sendiri. Hmm sepertinya motivasi yang cukup bagus. Setidaknya ketika aku bertemu 'keluargaku', aku mampu membuktikan bahwa aku dapat hidup tanpa mereka.

Maka dimulailah hari-hariku yang sepi selama tiga tahun berturut-turut. Masak sendiri, makan sendiri, mencuci sendiri, membersihkan rumah sendiri, merayakan ulang tahun sendiri, terdiam sendiri, menangis sendiri, tertawa sendiri, me--oke sepertinya perlu aku hentikan sebelum kalian menilaiku sudah mulai terserang sakit jiwa.

Tapi aku berhasil melewati tiga tahun masa SMA dengan baik, ehem, sepertinya. 

Dan hari ini merupakan hari teristimewa di kehidupanku sebagai seorang pelajar. Apalagi kalau bukan hari perpisahan sekolah. Akhirnya aku akan melepas status pelajar yang kusandang selama dua belas tahun. Ah.. betapa bahagianya.

Meski sudah pernah melewati dua kali wisuda, baru kali ini aku tidak ditemani oleh satupun wali. Paman dan bibiku yang telah mendukung kebutuhan finansialku sedang berada di luar negeri sehingga tak dapat hadir--sebenarnya bibi ingin tetap datang tapi aku memaksa dan mengatakan tak apa jika tidak dapat hadir--. Yah, lagipula kini aku terbiasa mandiri.

Lalu bagaimana dengan sanak yang lain? ehem, jangankan hadir di wisuda, terakhir kali aku melihat sanak saudaraku hanya ketika pemakaman kedua orang tuaku. Itu pun mereka hanya melontarkan basa basi lalu hilang di telan bumi. Ck.. ada apa sebenarnya dengan hubungan kekerabatan keluargaku.

Jadi ya, aku sedang berada ditengah kerumunan yang mengenakan topi toga. Di kanan atau kiri mereka terlihat sosok orang tua yang melalui gerak-geriknya pun aku sudah tahu jika mereka bangga pada putra-putrinya. Terkadang mereka memeluk, menggenggam tangan ataupun menepuk-nepuk baju toga buah hatinya seakan tidak akan membiarkan satupun butir debu menempeli baju anaknya.

AETHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang