Sekaleng minuman soda habis ditenggak gadis berambut hitam itu. Kepalanya makin berdenyut, akibat dingin soda yang menyerang syarafnya seketika. Pusing ia, memikirkan perkataan guru musiknya pagi ini. Dan minuman favoritnya ternyata tak sanggup melenyapkan kerisauannya itu."Gila. Ini beneran gila." Ia memijit pelipisnya dengan mata terpejam. "Bagaimana caranya aku menghadapi mereka? Setelah semua drama ini? Setelah sekian lama?" Ia menghela nafas. "Kang Minhyuk itu benar-benar membuatku dalam masalah. Gila, gila-"
"Siapa? Kau?"
Tersentak Jisoo mendengar suara itu. Seorang pemuda dengan mata sipitnya tersenyum penuh arti. Ia, guru yang membuatnya tak tenang sedari pagi itu.
"Mau apalagi, sih, oppa?" ujar Jisoo malas.
"Ssaem."
"Terserah."
"Kalau dilihat-lihat dari mukamu-" Minhyuk mendudukkan diri di samping Jisoo. "-sepertinya kau belum menemui mereka."
Membuang pandangannya ke gedung perpustakaan yang tepat berhadapan dengan taman tempatnya berada, Jisoo pura-pura tak mengerti. "Siapa, ya?"
"Ck ck ck. Tak kusangka kau sepengecut ini." Minhyuk tertawa kecil. "Kita tak punya banyak waktu, Soo-ya. Lombanya sebentar lagi-"
"Seingatku, aku tidak bilang bersedia ikut lomba?" sambar Jisoo tak terima. "Setelah kupikir-pikir lagi, sikap oppa rasanya tidak adil. Aku tahu oppa guruku tapi, please, bukan berarti kau bisa menyuruh-nyuruh seenakmu."
"Oh, ya?"
"Ya."
"Hm." Menopang dagunya, Minhyuk menunjukkan senyum sinisnya. "Tapi aku tak sependapat. Aku yakin kau mau ikut lomba itu karena hidup dan matimu ada di tanganku."
"Maksud oppa?"
"Ssaem."
"Ya, itulah."
"Kau tak mau dosamu kubuka pada seisi sekolah, bukan?"
Jisoo mengernyit heran. "Dosa apa? Jangan asal bicara, ya."
"Oh tidak. Aku punya bukti yang valid."
"Opp-Ssaem bicara apa, sih? Tolong ya, jangan mengarang cerita."
Alih-alih mendebat, Minhyuk malah mengeluarkan ponselnya. Jarinya menggulir layar ponsel itu sebelum menunjukkan ke Jisoo. "Selama ini, kau yang menyebabkan kekacauan di sekolah ini, kan?"
Terbelalak Jisoo mendapati foto dirinya yang berada di depan komputer sekolah terpampang di layar ponsel Minyuk. Mulutnya menganga lebar dan wajahnya tiba-tiba pucat. Ia tak percaya hari dimana kejahatannya terungkap akan tiba secepat ini. Terlebih, guru sekaligus teman kakaknya itu yang memergokinya. Sudah bisa dipastikan riwayatnya akan tamat sebentar lagi. Entah di tangan kepala sekolah atau di tangan kakaknya sendiri. Dua-duanya tidak ada yang lebih baik.
"Ssaem, aku berani bersumpah ini tak seperti yang kau duga. Bukan aku yang melakukan itu. Ini, foto ini, aku hanya sedang mengerjakan tugas-"
"Tengah malam? Menggunakan komputer utama? Dengan meretas cctv sebelumnya?"
"Ah, oppa, kau salah paham-"
"Sudah jangan berbelit-belit. Aku buru-buru. Pokoknya aku sudah menyelidiki semuanya. Kuberitahu kalau-kalau kau lupa, tunanganku sudah pengalaman dengan hal seperti ini. Ia membantuku mencari tahu siapa pelaku kerusuhan di sekolah kita."
Jisoo hanya bisa menelan ludah. "Kau benar-benar calon penghuni neraka tingkat paling bawah."
Terkekeh, Minhyuk mengeluarkan selembar kertas putih dan poster yang sudah dilihatnya pagi tadi. "Kubawakan formulir dan beberapa poster lomba untuk kau bagikan pada anggotamu. Aku tak mau tahu, minggu depan kau harus membawa mereka berdua ke hadapanku."
Dengan lesu Jisoo memandangi formulir dan poster yang disodorkan Minhyuk itu. "Kenapa harus kami? Band kami sudah lama bubar, Ssaem. Jinhwan oppa juga sudah lulus, siapa yang mau jadi vokalis? Suara kami bertiga payah. Dan lagi, kami ini sudah kelas dua belas. Harusnya kau menyuruh kami mempersiapkan diri untuk ujian masuk univ-"
"Jangan sok rajin. Aku tahu persis kalian bukan tipe seperti itu. Memikirkan mau masuk universitas mana saja tidak, apalagi mempersiapkan diri. Lagipula, cuma kalian yang bisa memenangkan lomba ini. Kalian punya warna yang tak dimiliki band lain. Soal vokalis itu gampang. Aku sudah dapat calonnya."
"Warna omong kosong. Apa pentingnya lomba ini? Setiap saat juga ada lomba musik begini." Remeh Jisoo.
"Penting." Minhyuk mengendikkan bahu, tersenyum samar. "Setidaknya untukku."
"Hm?"
"Sudah ah, guru tampanmu ini mau mengurusi masa depannya dengan Jung Soojung."
"Aish."
"Yang gencar, ya, merayu Bobby."
Jisoo melotot ganas tapi Minhyuk tentu tak peduli. "Kalau kita tidak sedang di sekolah, habis kau." gumamnya yang dengan sengaja ia perdengarkan pada Minhyuk.
Minhyuk lagi-lagi terkekeh. Ia beranjak dari bangku taman sambil menyampirkan tasnya. "Oh ya, kucuri dengar dari Lalisa dan Rose barusan, Hanbin sedang di gudang belakang bersama gank-nya."
Jisoo menaikkan alis, setengah tak paham setengah waspada. "Maksud Ssaem?"
"Ya kalau kau kesulitan dengan Bobby, mulailah dari Hanbin. Gosipnya, ada yang patah hati diselingkuhi kekasihnya." Minhyuk tersenyum miring. "Lagi." tambah Minhyuk sebelum meninggalkan Jisoo tanpa rasa bersalah.
"Kudoakan kau dan Jung Soojung batal menikah lalu ia mendepakmu jauh-jauh, dasar setan!"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Past Tense
FanficThere's no past tense in loving someone. It's either you always will or you never did. . . . Tidak, tidak. Cerita ini tidak seserius kelihatannya.