"Firlan kumat sering bolos lagi ya?" Komentar Rika usai pelajaran Bahasa Inggris berakhir.
Mikha menoleh sebentar, mengendikkan bahu. Menegaskan itu bukan urusannya. Lagi pula hubungannya semakin memanas. Sejak dia mengusir dari rumahnya tempo hari cowok itu tidak pernah lagi muncul di notif ponselnya. Tidak ada lagi yang membuat darahnya mendidih. Meledak-ledak. Lebih damai.
Benarkah seperti itu?
Mikha tidak tahu.
"Hari ini lo bakal kasih jawaban, kan?"
Oh iya. Hampir saja Mikha lupa. Waktunya telah tiba. Kemarin dia tidak langsung menjawab pernyataan cinta daei Satria. Seharusnya dia langsung memberi jawaban, bukan malah menundanya. Entahlah, Mikha tidak tahu kenapa butuh waktu untuk berpikir.
"Ya ampun, Rik, untung lo inget. Gue malah lupa."
"Hati lo nyangkut ke orang lain sih, makanya lupa." Goda Tiara. Mikha mencibir, selesai ber-oh ria dengan kedua temannya dia bergegas menemui Satria di kelasnya.
Seperti biasa koridor ramai begitu jam istirahat.
Mikha melangkah ringan melewati siswa-siswi sibuk ketawa-ketiwi atau makan gorengan di tepi koridor. Sesekali Mikha melempar senyum ramah. Ketika tiba di gedung kelas XI ada rasa deg-degan. Pasalnya baru sekali menginjakkan kaki di gedung ini.
Sebagai murid kelas sepuluh belum memiliki banyak kenalan kakak kelas membuat Mikha ragu. Dia takut seandainya jadi bulan-bulanan kakak kelas meskipun masa MOS sudah berlalau lama. Terlebih orang yang dia cari termasuk cowok most wanted walau baru terhitung baru di sekolah ini. Mikha masih bisa merasakannya begitu menyebut nama cowok itu pada salah satu teman sekelasnya. Reaksinya membuat nyali Mikha menciut.
"Lo siapanya Satria?"
Ada nada penegasan siapa dirinya sampai berurusan dengan Satria.
Mikha tersenyum canggung. Dia menjawab santun sebagaimana junior yang baik. Setelah menerima keterangan kalau Satria tidak ada di kelas, Mikha pamit undur diri. Ada rasa kecewa yang menyusup perasaannya. Tidak ada pilihan lain, Mikha akan memberi jawaban saat pulang sekolah nanti. Toh, mereka pulang bareng. Kenapa harus dipermasalahkan. Begitu hiburnya. Dan pilih menyusul kedua temannya di kantin.
Mikha kembali menyusuri korindor. Masih dengan perasaan berkecamuk, langkahnya berhenti di depan GSG yang tertutup. Tempat ini selalu sepi terkecuali ada acara. Tiba-tiba sepotong ingatan muncul, saat pertama kali menjalin komunikasi dengan Satria. Wajah Mikha bersemu merah. Apalagi mengingat tingkah konyol di depan cowok itu.
Gadis itu tersenyum, lantas kembali melanjutkan langkahnya. Namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok begitu familiar di matanya. Seulas senyum terbit menghiasi wajahnya. Mikha membuka pintu GSG pelan, berniat memberi kejutan cowok itu. Saat pintu terbuka betapa terkejutnya Mikha mendapati adegan di depan mata. Satria tidak sendiri. Berdua. Ralat, lebih tepatnya berdua dengan seorang perempuan berambut coklat sebahu.
Satria menyudutkan cewek itu di dinding. Tangan cewek itu mengalungi leher lelaki itu. Jarak mereka begitu dekat. Mikha tidak sanggup lagi.
"Satria!"
Dua orang itu tampak terkejut karena aksinya kepergok.
Mikha menahan tubuhnya sekuat tenaga agar tidak luruh di tempat itu. Tanpa memandang wajah mereka, Mikha lari meninggalkan GSG dengan segenap pertahanan terakhir yang dimiliki. Tidak mengubris panggilan cowok itu.
Lari. Lari. Lari.
Itulah yang ada di pikirannya. Melahirkan tanya besar setiap orang yang ditemuinya, mengapa dirinya menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me
Teen FictionMenurut Mikha, cowok idaman ialah rapi, manis, gemar olahraga, pintar, dan tidak neko-neko. Tetapi bagaimana jadinya jika cowok yang berurusan dengannya justru berbanding terbalik, cowok troublemaker yang hobi mencari gara-gara dan memusingkan kepal...