Sebuah Rumah, Sebuah Sekolah

13 2 1
                                    

Masa-masa balitaku penuh dengan hafalan. Nama-nama binatang, buah buahan, ikan ikanan, dan reptil menjadi makanan setiap hari. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya poster-poster hafalan di dinding kamarku. Sehingga stiap bangun tidur yang aku lihat adalah sederet nama ikan dan buah. Tapi biar bagaimana pun, aku suka kegiatan tersebut karena posternya warna warni dan bentuknya lucu-lucu.

 Tapi biar bagaimana pun, aku suka kegiatan tersebut karena posternya warna warni dan bentuknya lucu-lucu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ikan badut, ikan kembung, komodo, hoaaam, aligator," hafalku sambil ngantuk saat pagi hari.

"Eh adek udah bangun," sapa emakku di pagi itu. Ya, di rumah aku dipanggil adek. Padahal aku kan anaknya, bukan adiknya, hmmm.

Kegiatan rutinku sebagai anak manusia adalah eek. Ya, seimut apapun balita dia tetap menghasilkan hal menjijikkan. Yang unik dari cara mendidik orang tuaku adalah saat aku eek ternyata tetap saja ada jam pelajaran yang harus aku terima.

Saat balita aku selalu buat air besar dengan pintu terbuka lebar. Langsung menghadap dapur beberapa langkah di depannya. Di sanalah emak  memasak sembari  mengajari muridnya yang sedang ngeden.


"Hewan yang bisa ganti warna apa?" Tanya emak.
"Bunglon mak," jawabku.
"Ya, satu tambah tiga berapa?"
"Empaaaaaaat."
"Tiga kurangi satu?"
"Duaaaaaaaa," jawabku semangat.
"Hewan lompat apa namanya?"
"Kodok"*cemplung*
"Maaaaaaaaaaaak, udaaaaah," teriakku lagi.

Emak yang tadi asyik masak dengan sigap menceboki dengan lihainya. Ini berarti pelajaran pertama sudah selesai. Perut lega, ilmu pun bertambah. Entah siapa yang menginspirasi orang tuaku untuk mengajari anaknya sembari boker. 

Alih-alih membiarkan anaknya berkonsentrasi untuk melakukan ritual pribadi, mereka malah mendidikku dengan getolnya. Bayangkan jika otot bokongmu dan otakmu bekerja secara bersamaan, superman saja belum tentu bisa melakukannya.


Di sinilah, di rumah, aku pertama sekolah. Tapi rumahku bukan satu-satunya sekolah. Karena saat itu orang tuaku dua-duanya bekerja. Jadi aku harus dititipkan dan kemudian ditinggal kerja, hiks.

 Jadi aku harus dititipkan dan kemudian ditinggal kerja, hiks

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Aku dititipkan kepada sepasang suami istri paruh baya. Tinggal disebuah gubuk sederhana, dan setiap hari pergi mengangon hewan ternak. Aku memanggil mereka dengan Bi Ane dan Bapak Aki. Oh iya, mereka juka memiliki seorang putri cantik bernama Iis, saat aku balita ia sudah SMA. 

Rumahku yang sederhana namun cukup modern berbeda jauh dengan rumah Bi Ane ini. Di sini aku tidur siang di atas bale-bale. Di dalam rumah pun hanya ada ranjang berlapis tikar. 

Toilet di sini pun atapnya terbuka lebar. Kita bisa melihat buah jengkol saat eek, dan buah jengkol pun bisa melihat kita lagi eek (yah gak mungkin juga jengkol bisa idup kan).

Tapi yang unik adalah aku tidak menggunakan toilet tersebut. Aku biasa eek di tanah samping gubuk rumah tersebut. Kemudian cara membersihkan masterpiece ku itu adalah dengan cara dicangkul oleh bapak aki kemudian tanah tersebut dilempar jauh-jauh ke kebun kosong. Sungguh alami sekali bukan? Oke cukup sudah kita bahas eek terus dari tadi. 


"Ciden sini ciden, pistol airnya diisin," panggil bapak aki.
"Isi yang penuh Bapak Aki."

Ya, kalian gak salah baca. Di tempat Bapak Aki, aku berubah nama jadi Ciden, yang memiliki arti presiden. Entah kenapa Bapak Aki ambisius sekali ingin aku jadi presiden. Padahal umur segitu aku belum mengucap cita-citaku apa. Tapi aku menikmati panggilan tersebut karena aku juga tidak tahu presiden itu apa, haha. 

Dititipkan di rumah yang sangat sederhana bukan berarti aku tidak belajar. Di sini aku belajar banyak sekali hal. Di sinilah aku baru tahu bahwa setrika zaman dahulu itu menggunakan arang. Bi Ane menggosok baju sama halnya mengipas-ngipas sate. 

Di sini aku belajar menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Tidur siang di atas bale-bale sembari ditemani ayam-ayam jago Bapak Aki.

Aku juga punya teman sepantaran di sini, namanya Opa. Kita sering main tanah dan pasir bareng. Kadang juga main kapal otok-otok di genangan air, seruh deh pokoknya.

3 tahun diasuh oleh orang Sunda tulen membuatku sedikit banyak mengerti bahasa Sunda. Tak jarang ketika aku pulang ke rumah membuat orang tuaku yang keduanya bersuku Jawa kebingungan. 


"Hayang udaaaaaaaaaang," teriakku di atas kasur kepada emak.
"Mamah gak punya udah dek," jawab emakku bingung.
"Hayang udaaaaaang," aku menjukurkan kedua tanganku.
"Udang?" Emakku semakin bingung.

Emak gak tahu kalau hudang itu artinya bangun. Ditambah pelafalanku yang belum jelas menambah pusing kepala mereka.

Selain di rumah Bi Ane, aku juga setiap hari menghampiri gubuk-gubuk di sekitarnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selain di rumah Bi Ane, aku juga setiap hari menghampiri gubuk-gubuk di sekitarnya. Salah satu yang paling sering adalah gubuk mbak penjual jamu. Ia juga memiliki suami yang berprofesi sebagai tukang bakso. 


Aku beruntung bisa keluar masuk seenak jidat ke gubuk kontrakan mereka. Karena aku jadi bisa melihat proses pembuatan jamu dan proses pembuatan bakso. Bahkan tidak jarang aku dikasih bakso bakso kecil yang baru dikukus.

"Mas, lagi pain?" Tanyaku.
"Bikin bakso dong."
"Oooh," jawabku lugu. 

Kata jamu sendiri berasal dari kata jampi (dalam krama Jawa kuno). Jampi berarti ramuan ajaib. Aku suka banget minum jamu beras kencur dan buyung upik. Jamu menjadi minumanku sehari-hari. Dengan begitu walau aku sering main tanah, pasir dan hal-hal kotor lainnya imunku tetap terjaga.



=========❤========= 

Jika setiap rumah adalah sekolah, maka semakin banyak rumah yang ditempati semakin banyak juga sekolah yang kumiliki. Di rumah aku bisa belajar mengembangkan ingatan dan pola pikirku. Dan di rumah lainnya aku harus belajar memahami, menghargai dan menyesuaikan diri. Yah, sebenarnya dimana ada rumah di situ kita bersekolah. Maka dari itu kita harus siap menjadi murid di mana saja, harus siap jadi guru untuk siapa saja.

Setelah berusia 3 tahun akhirnya aku tidak dititipkan lagi dan emak memutuskan untuk keluar dari kerjaannya yang sudah sangat enak. Ia bisa dapat pesangon puluhan juta jika saja bersabar beberapa bulan, tetapi ia memilih resign sesegera mungkin dan tanpa pesangon. Emak khawatir aku menjadi anak yang tidak terawat dan tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tuanya sendiri.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 07, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sekolahku Bersarang di CikarangWhere stories live. Discover now