Prolog

5.4K 373 6
                                    

Di tengah wajah-wajah mengejek dan mulut penuh sumpah serapah orang-orang di lapangan, laki-laki itu memberinya tatapan iba yang tidak terlalu kentara. Ia diam meremas kain celana dengan bergetar, sekujur badan kaku layaknya batu, dan lagi-lagi ia membungkam erat mulutnya yang ingin berseru menghentikan semuanya. Menghentikan tindakan bar-bar teman satu sekolah yang sedang membully seseorang di depan sana.

Lingkaran siswa yang membentuk lingkup padat tak bercela berusaha menutup akses si anak malang yang mungkin saja ingin kabur dari keadaan yang mendesaknya. Hujatan-hujatan tajam dan sampah berbau busuk masih melempari tubuh menyedihkan itu dengan kejam.

Dan sekali lagi ia hanya diam. Menyaksikan semua serupa film yang diputar di layar kaca. Tak sadar jika anak yang sedang dibully itu tak lagi bergerak sejak dihakimi massal oleh teman satu sekolah karena kesalahannya.

Sasuke menahan napas berkali-kali dan mengembuskannya dengan berat. Ujaran kebencian dan hinaan menusuk itu masih saja terdengar. Dalam hati ini berharap seseorang segera menghentikan semua ini sebelum―

"Ada apa ini? Hentikan!"

Ia benar-benar bersyukur untuk ini. Seorang guru wanita bertubuh gempal membelah lingkaran solid itu dan menatap prihatin pada murid berambut kuning.

"Uzumaki Naruto-kun, kau bisa bangkit berdiri dan membersihkan tubuhmu di toilet?"

Si pemilik nama tidak menjawab tapi mulai memberi tanda-tanda pergerakan seperti mengangkat tubuh dan berjalan―walau terkesan kaku. Ketika mendongak, mata birunya bersinggungan dengan mata hitam Sasuke yang melebar terkejut.

Tersirat kekecewaan dan kebencian di sana, dan semuanya tertuju hanya kepada Sasuke seorang.

"Siapa yang menjadi dalang pembullyan di sini? Jawab!" Suara menggelegar guru itu tak membuat perasaan yang mengganjal di hatinya mereda. Sasuke perlahan bernapas putus-putus, sekujur badan tak henti bergetar saat aroma busuk dari tubuh pemuda kuning melewatinya begitu saja seperti angin.

Seharusnya tidak begini. Seharusnya ia tidak melakukan kesalahan sefatal ini.

...

Dan memang penyesalan selalu berakhir belakangan.

Sasuke tak lagi memiliki kesempatan untuk meminta maaf atau paling tidak memperbaiki apa yang sudah terjadi. Lelaki itu pergi, tak lagi kembali. Selama apapun Sasuke berharap dan menghibur diri.

Sisa waktu di kelas tiga dilaluinya dengan dada yang bergemuruh sesak. Setiap detik ingatan tentang kebodohan itu selalu menghantui, bercokol ke dalam daging hingga menjadi duri. Ketika bayangan akan sepasang mata yang terluka itu lagi-lagi melintas, di saat itulah Sasuke merasa dunianya telah runtuh sejak lama. Bagai bumi yang kehilangan porosnya. Hanya ada kehampaan di sana.

Terkadang Sasuke suka memperhatikan kursi kosong di sudut kelas, membayangkan sosok lelaki kuning terduduk di sana dengan kacamata tebalnya. Tapi, semua hanyalah semu, semua tak seperti apa yang kenyataan katakan padanya. Tidak akan ada orang bodoh yang masih mau menginjakan kakinya di sekolah ini setelah menerima berbagai hinaan dan cercaan sedahsyat itu.

Hingga waktu terus berjalan, hari menuju minggu, minggu menuju bulan, lalu berganti dari satu musim ke musim lainnya. Tibalah ia pada masa akhir sebagai murid di tingkat SMA. Sama seperti siswa kebanyakan, menjalani ujian, menerima kelulusan, lalu pindah ke jenjang yang lebih tinggi. Sasuke melakukan semua itu tapi jati dirinya seakan tertinggal di gedung ini.

Apalah daya, ia hanya seorang hamba yang bisa melakukan kekhilafan. Jika seorang pendosa layak mendapatkan kesempatan yang lebih baik, lantas mengapa ia tak mendapatkan hal itu juga?

Berpikir semua akan berakhir baik seperti yang selalu ia bisikan di setiap langkah. Sasuke memutuskan ikut sang kakak pindah ke kota sebelah, memulai hari yang baru di tempat yang baru. Berusaha melupakan masa lalu. Ia berubah menjadi seseorang yang melankolis, tujuan hidupnya berubah dari bisnis menjadi musik. Entah dari mana dorongan itu datang, rasanya setiap kali memetik senar gitar dan bernyanyi, itu cukup menghibur duka lara di hatinya.

Tapi, semua tak berjalan sesuai kehendak, profesi sang kakak yang mengharuskannya pindah ke banyak tempat justru mengantarkannya kembali ke kota kelahiran. Dan, ingatan itu lagi-lagi menghujami separuh hidup Sasuke yang mulai tertata dari serpihannya yang terberai di bawah tanah.

...

Notes : Saya akan berusaha menyelesaikan deadline fic ini di hari ini hohoho doakan saya berhasil yaaa 

Hate or Love (NARUSASU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang