Prolog

50 25 7
                                    

Saat ini senja mulai pulang diikuti kicau burung yang kembali kerumah. Rintik hujan tak kunjung berhenti sejak dzuhur. Mengirimkan air, membasahi bumi untuk menguarkan aroma khas. Lampu sudah sejak tadi sore padam. Pemadaman bergilir, begitulah kata tetangga.

Dengan diterangi sebuah lilin kutatap ceruk kopi di meja. Entah sejak kapan aku mulai terbuai dengan rasa nikmatnya. Sesekali kulirik seseorang di depanku. Seorang gadis cantik dengan rambut panjang tergerai. Matanya menatapku berkilat. Entah karena cahaya lilin atau memang seperti itu.

Aku tak mengenalnya. Dan entah mengapa ia datang menemuiku. Ketika pulang sehabis bekerja, dia sudah ada di depan rumah. Duduk di teras bak gelandangan. Sejak saat itulah dia memaksaku untuk membaca tumpukan kertas yang ditulis agak rapi miliknya.

"Saya capek!" Entah sudah berapa kali kata itu kuucapkan. Namun dia seakan tak mengindahkanya.

"Owh ayolah mba, saya mohon."

Senyumnya selalu mengembang. Matanya berbinar mengharap kata "Baiklah," dari mulutku.

"Sudah berapa kali harus saya katakan. Saya tidak tertarik dengan kisah cinta remaja yang begitu penuh drama kebohongan. Lebih baik sekarang kamu pulang saja. Hari sudah hampir gelap!" titahku kesal.

Ia kembali tersenyum. Dapatku simpulkan ada bumbu ketegaran dan pantang menyerah disana.

"Saya tidak akan pulang sebelum anda berkenan untuk membacanya."

Kuangkat cangkir kopi yang isinya sudah tandas. Mengangkatnya ke mulut, dan berharap akan ada setetes dua tetes cairan kopi untuk membasahi tenggorokan.

Ekor mataku meliriknya yang tengah menatap tanpa rasa lelah. Wajahnya sedikit berwarna kuning karena sinar dari api penerangan.

Perlahan ku letakan cangkir kopi sembari mendengus kesal.

"Tidak kah kau melihat bahwa sekarang sedang ada pemadaman bergilir? Bagaimana saya akan membacanya?"

"Anda bisa membacanya dilain hari."

"Bagaimana jika saya tidak sempat?"

"Saya akan menunggu anda sempat."

Samar mulai kudengar suara adzan maghrib dari desa sebelah yang menggunakan diesel sebagai sumber listrik. Kami berdua terdiam. Menghormati alunan panggilan Tuhan. Setelah adzan selesai aku kembali menatapnya.

Ku ketukan hari telunjuk kanan di meja dengan frustasi.

"Baikalah saya akan membaca ceritamu. Sekarang pulanglah, dan kembali ke sini sebulan kemudian."

"Benarkah?" tanya nya antusias.

"Pulanglah sebelum saya berubah pikiran!"

Gadis remaja itu tersenyum antusias. Ia segera beranjak dari duduk nya dan berpamitan. Entah dengan apa dia akan pulang. Aku hanya berdoa semoga dia baik-baik saja di jalan.

***

Sudah hampir genap satu minggu setelah kedatangan gadis asing yang hingga kini tak ku ketahui namanya. Minggu ini terasa sangat membosankan setelah teguk terakhir kopi arabica yang ku beli kemarin.

Segala bentuk rasa bosan dan kejenuhan membawaku pada sebuah dunia ilusi. Sejenak aku terbawa masuk ke dalam rasa bahagia yang hampa. Merasa berada diujung cakrawala padahal hanya duduk diujung tangga.

Perlahan dunia ilusi ku beralih menuju kejadian satu minggu lalu. Saat gadis itu berada di dalam rumahku dengan hanya diterangi sinar lilin. Segera ku beranjak dan menatap tumpukan kertas yang tak pernah berubah letaknya. Mengambil kertas paling atas dan membacanya dalam hati.

'Saat Dia Datang' kata yang ditulis lebih besar dari pada yang lain mengambil perhatianku. Siapa yang datang? Tanyaku dalam hati. Huruf demi huruf akhirnya kubiarkan menjadi kata yang bisa kubaca. Membentuk sebuah kalimat sederhana yang memabukan. Membuatku penasaran akan kalimat selanjutnya. Begitu saja seterusnya. Hingga aku berlanjut pada lembar kedua.

***

Jangan lupa kritik dan saranya ya. Saya masih pemula. Dan ini yang pertama.

Sedikit Lebih Keras (Little Louder)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang