TIGA BELAS

141 19 0
                                    

"Ada banyak banget tempat buat latihan basket, kenapa harus di sini?"

Berpaling ke asal suara, aku tersenyum lantas berujar, "Hai, Le!"

Leon berdecak. Di sampingnya Windi membalas senyum yang kulemparkan pada pemuda tersebut. Sedetik kemudian aku kembali tenggelam dalam berbagai teknik yang baru kupelajari secara cuma-cuma dari Gita.

"Ini hari Sabtu, Mikayla Zee. Dan lusa adalah pertandingan lo. Bukannya istirahat malah ngajak main," Leon lagi-lagi menggerutu. Namun tak urung pemuda itu melempar jaketnya ke atas rumput dan menyusulku.

"Well, besok ABT juga tanding, 'kan? Dan lo malah pacaran."

Kudengar tawanya meledak seketika. Sementara pemuda itu masih berdiri di dekat ring sambil berusaha menghalangi jalanku dengan seluruh fokusnya. Benar-benar aneh.

"Lo iri sama gue?" tanyanya.

"Iri?" dengusku.

Kata "iri" sepertinya asing bagiku. Setelah bertahun-tahun hidup jauh dari jangkauan pergaulan masyarakat, aku tak lagi mendefinisikan kata tersebut sebagai suatu hal besar selain sebuah kemenangan, kurasa. Aku tidak terpengaruh pada perubahan gaya hidup atau pun trend. Aku hanya fokus mengejar dua hal yang kucintai—kebahagiaan mama dan basket.

Namun Leon sama sekali tak memedulikannya. Dia selalu bersikap layaknya cenayang yang bisa membaca isi otak dan hati orang lain. Di balik semua itu, dia adalah tipe pemuda bersahaja sekaligus tampan hingga disukai banyak orang. Tak jauh berbeda dengan Val. Bedanya, Leon tak perlu berusaha terlalu keras untuk menjadi seorang panutan.

Jiwanya memang terlahir untuk menjadi "seseorang".

Sedikit banyak aku terpengaruh dan menjadikannya seperti itu juga. Di dalam tim basket, kemampuan Leon bisa dibilang menakjubkan meskipun pemuda itu bukanlah orang yang sering menjadi pusat perhatian di lapangan. Itu semua terbukti saat coach memilihnya menjadi ketua ABT. Sama seperti Gita. Cukup aneh memang mengingat aku mengakui hal tersebut.

Tersenyum miring, aku lantas melakukan ice sebelum melompat ke arah keranjang. Masuk!

"So ... apa lo ngajak gue cuma buat pamer kemampuan aja?" sindir Leon yang saat ini tengah berkacak pinggang tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku menatapnya dan balas menyindir, "So, apa lo ngajak dia buat jadiin gue nyamuk aja?"

"Windi maksud lo?" tanyanya sambil melirik gadis tadi.

"Lo peka juga ya ternyata. Well, gue cuma mau ingetin lo aja kalau semua ini ... yah, you know-lah."

Kulihat Leon menahan tawanya. "Buka hati lo dan lo akan ngerti apa yang gue lakuin sekarang."

Pemuda itu mengembalikan bola pantul yang tadi ditangkapnya kepadaku. Kami bermain-main sebentar sebelum permainan itu semakin menyulut api di dalam diriku.

Tak ubahnya seperti pebasket profesional, Leon benar-benar bisa membawa permainan kami ke jenjang yang lebih tinggi.

"Gue ngelakuin ini karna ini yang bikin gue bahagia." Leon berujar di sela-sela permainan kami.

Aku men-dribble bola dan membawanya berputar sesekali. "Bahagia?"

Ia kembali mengangguk. Dan setelahnya aku tidak lagi menguasai game, Leon sudah membawanya pergi dan melakukan slam dunk yang apik. Kuakui aku kagum.

Leon menghampiriku dan meletakkan benda bulat itu di atas tanganku yang terbuka. "Main itu pake hati, La. Lo bakal lebih menikmati. Dan rasanya lebih nikmat dibanding sebuah pertandingan biasa," katanya sebelum meninggalkanku terengah.

She's (Not) AfraidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang