Dua hari berlalu sejak kejadian di kantor papa. Aku sibuk membenahi nilaiku melalui beberapa remedial. Berhubung tak lagi sibuk dengan basket, pikiranku mulai was-was saat melihat tinta merah di beberapa mata pelajaran. Sementara itu, emosiku mulai tenang. Aku mulai memikirkan semua yang kumiliki selama ini dari sisi berbeda. Val adalah salah satunya.
Setelah pengakuan mama, aku justru teringat pada Val. Keberadaan pemuda itu nyatanya sanggup membuat sebagian hatiku menghangat. Dia bukan hanya membawaku dari duka, tapi juga melengkapinya dengan rasa sayang—seperti yang sering ia katakan. Namun sayangnya, aku terlalu naïf untuk mengakui bahwa aku pun merasakan hal yang sama.
Kata mama, aku harus meminta maaf pada Val dan meluruskan segalanya, tapi ... aku selalu menundanya dengan alasan membereskan hal lain. Kupikir tidak akan jadi masalah, Val bisa menunggu. Kami masih akan bertemu besok, lusa, dan hari berikutnya. Ada banyak waktu agar perasaan yang kami miliki satu sama lain semakin kuat setiap detik. Jika saat itu tiba, kami akan duduk bersama di Jingga dengan segelas matcha, cappuccino, dan senja. Kami akan bersama dalam waktu yang lama.
Tanpa sadar bibirku tersungging membayangkannya.
Namun sebelum impian itu terwujud, aku masih perlu membenahi beberapa hal. Pertama adalah nilaiku. Kedua adalah kesembuhan kakiku. Lalu berikutnya adalah papa.
"Sorry lama." Sebuah suara tertangkap gendangku, disusul derit kursi yang ditarik tak sabar.
Aku menoleh dengan raga separuh sadar. Sega—orang tadi—menyodorkan beberapa buku ke arahku. Ia menggumamkan kata, "Baca!" sambil fokus pada ponsel di tangannya.
Bola mataku berputar searah jarum jam. Sega selalu begitu—berdalih datang ingin membantu, tapi fokusnya lebih banyak pada dunia maya. Meskipun begitu, aku tidak menyuarakan protesku atau mengatainya seperti yang sudah-sudah. Toh pada akhirnya pemuda itu tetap membantuku.
Ah ya! Perihal kedekatan kami saat ini ... sebenarnya ia hanya kebetulan dimintai tolong salah satu guru pengampu untuk mengawasi ulangan susulanku. Lalu kami mulai mengobrol tentang hal-hal yang ada di sekolah. Setelah hari itu, dia kembali datang menawarkan bantuan.
Saat itu aku tidak serta merta menerima bantuannya. Lalu ia justru menyahut, "Jangan liat orang dari cover luarnya aja, gini-gini gue pernah ikut Cerdas Cermat."
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Sega menegakkan tubuhnya dan berkata, "Gue laper, ke kantin yuk!"
Tanpa mengalihkan tatapan, aku menggeleng.
"Lo nggak laper?" Ia bertanya.
Lagi, kepalaku menggeleng pelan. Sega berdecak. Kepalanya ia telengkupkan di mejaku, persis di samping buku yang kubaca. "Lo seriusan nggak laper? Gue traktir loh."
Gemas, akhirnya aku duduk tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Gue bawa makan. Lo kalau mau ke kantin ya udah sana!"
"Jangan karna orang-orang ngomong buruk tentang lo terus lo narik diri kayak gini."
Aku menghela napas berat. "Gue nggak nyaman diliatin terus, terutama temen-temen Val. Mereka pasti nyumpahin gue karna kejadian waktu itu."
Sega mengacak rambutnya kencang. Pemuda itu kini sudah berdiri di sampingku sambil berjalan ke sana-kemari.
"Kay, lo paham nggak sih, kalau mereka itu bukan benci sama lo. Tapi mereka nggak suka elo deket sama Brian! Dia bukan cowok baik, Kay, lo sendiri tau itu."
"Ga ... selama ini kemarahan gue sama Val cuma salah paham. Val itu satu-satunya orang yang ...." Aku menahan napas sejenak. "Dia yang bantuin gue selama ini. Saat nggak seorang pun mau temenan sama cewek seaneh gue, Val bersedia."
KAMU SEDANG MEMBACA
She's (Not) Afraid
Ficção AdolescenteAda banyak alasan kecil mengapa hal-hal besar terjadi. Tidak semua dapat dijelaskan. Hidup mengajari Kyla untuk tidak mengharapkan apa pun dari siapa pun. Lalu, kehadiran Val membuat hidupnya menjadi lebih mudah. Kyla dan Val dipertemukan ketika lu...