prolog

11 4 0
                                    

Tahun 1995

Langit mendung menghiasi Kota Kienzburg. Bagaikan menangisi kematian seseorang yang sangat berarti bagi dunia. Mungkin hanya kebetulan belaka, atau Tuhan telah berkehendak.

Ibuku mati bunuh diri.

Mayatnya tergeletak di atas lantai dengan sebuah pistol di tangan kanannya yang berlumuran darah. Kepalanya yang telah berbau annyir dan bercucuran darah. Orang yang pertama kali melihatnya adalah aku. Ayahku datang 15 menit kemudian setelah aku menghubungi ayahku. Ia sangat histeris di depan mataku, tidak menerima kenyataan bahwa ibu telah meninggalkan kami.

Di saat aku melihat mayatnya, nyawaku seperti melayang. Tangan dan kakiku gemetar bercucuran air keringat. Tapi ada hal yang sangat kusesali.

Tidak menangis.

Tidak merasakan hilang akan sesuatu.

Hanya tatapan kosong yang aku lakukan kepadanya.

Aku tidak merasakan adanya sedih, ataupun senang.

Apa mungkin karena aku anak lelaki berumur 6 tahun, ataukah aku tidak pernah merasakan sesuatu yang spesial bersamanya.

Hati ini kosong.

Tiap hari, tiap malam aku selalu menatap langit yang tidak lagi indah. Semua yang kulihat hanyalah ketidakperpaduan warna, melebur dengan kotras yang tidak sebanding. Dan itu terus berlanjut.

Sampai kapan ini terus terjadi?

...

Percuma.

Tidak akan ada orang yang mau menjawab semua pertanyaan ini.

°°°°°

Pagi di kediaman Dreyman. Pesan belasungkawa masih terus berdatangan selama satu minggu lebih. Ayah sedang merenung di sofa dengan sebuah foto keluarga —Ibu, seorang anak laki-laki, dan Ayah— digenggamannya.

Di dalam foto itu, mereka terlihat bahagia. Tapi bukan bersamaku, melainkan bersama seseorang —anak laki-laki— yang tidak aku kenal.

Aku bisa mengetahui itu karena anak itu berambut coklat seperti ayah, sedangkan aku berambut putih. Ibu bilang aku anak albino. Sangat jarang terjadi kelainan seperti ini (kata ibuku).

Bahkan foto itu telah ada sejak aku belum lahir. Ayah pernah bilang bahwa nama anak itu adalah Arrich, sama dengan namaku.

Yang membuatku janggal dari foto itu adalah ekspresi dari anak itu, senyuman yang terlihat sangat berat bagiku.

Aku ... Merasa tidak senang.

Kenapa aku iri dengannya?

Selama satu jam aku berdiri melihat ayahku yang masih tunduk dalam isaknya.

Hingga ia menoleh ke arahku.

"Ah, Arrich. Sudah berapa lama kau berdiri di situ?" Sembari menghapus air matanya yang jatuh di kacamatanya.

" ... satu jam, kurasa ... "

"Oh iya, ada yang ayah ingin bicarakan kepadamu Nak, duduklah kemari."

Aku pun duduk di sebelah kiri ayah sementara ayah menaruh foto itu di atas meja yang ada di sampingnya.

Dengan beratnya ia menarik nafas panjang.

"Arrich, kita harus pindah dari sini."

Through the SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang