Jela

37.5K 2K 145
                                    

"Emak lo dulu ngidam apa sih Jel? Nggak manusiawi banget wujud lo," lalu suara tawa menggema mengiringi suara Sandy yang sejak tadi terus mengejekku. Kerjaan Sandy mengata-ngataiku, sedangkan bala-balanya bertugas menertawaiku.

Sandy ini suka sekali membullyku. Sudah kenyang aku menerima segala ejekannya sejak kami masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Iya, aku dan Sandy satu sekolah saat SMP dan berlanjut hingga SMA. Beruntungnya, kami tidak pernah satu kelas. Bisa budek dan darah tinggi jika aku sampai satu kelas dengannya. Parahnya, dia tidak pernah habis akal untuk mengejek dan mengerjaiku.

Saking seringnya aku diejek oleh Sandy, aku sampai tidak lagi berminat meladeni segala ocehannya. Bablas saja dari telinga kanan ke telinga kiriku.

Aku melirik Sandy dengan sinis, bibirku sama sekali tidak berniat untuk aku gerakan guna membalas ejekannya. Terus, aku ini apa? Monyetiawi?

Aku terus melanjutkan kegiatan menyalinku. Beruntungnya aku memiliki teman seperti Mitha, selain tulisannya enak dibaca dia juga baik hati. Aku harus mengorbankan jam istirahatku untuk menyalin teori yang tadi guru jelaskan, sial sekali aku tadi ketiduran saat jam pelajaran sedang berlangsung.

Dan sekarang, di kelasku ini aku sedang dibully oleh Sandy dan kawan-kawannya. Satu perempuan versus empat cowok dengan kelakuan lebih dari setan. Aku yakin, setan tengah berpesta pora karena memiliki anak buah seperti Sandy dan teman-temannya.

"Eits!" Sandy merebut bolpen milikku, lalu diberikan bolpen itu pada salah satu temannya untuk dikantongi.

Aku geram, kelakuannya yang seperti ini amat sangat mengganggu. Tidak masalah bagiku jika dia terus mengoceh sepanjang hari untuk mengejekku, sedangkan menghadapi kejahilannya yang seperti inilah yang amat sangat aku benci. Aku mudah sekali marah jika dia sudah bertingkah menyebalkan seperti ini, bolpen milikku kebanyakan tidak kembali ke tanganku. Entah dipakai atau dibuang ke tong sampah, aku tidak tau.

"Balikin bolpen gue!" Pintaku dengan suara kubuat segalak mungkin. Demi Tuhan, bolpen itu harganya tiga puluh ribu! Untuk beli soto ayam di kantin aku bisa mendapatkan tiga mangkuk porsi besar.

"Ogah, sesuatu yang udah gue pegang itu berarti jadi milik gue. termasuk boplen jelek lo itu." Sandy mengatakan itu dengan wajah menyebalkannya, wajah puas karna sudah berhasil membuatku naik pitam.

"Balikin nggak?! Kalau nggak..."

"Kalau nggak, apa?" Sandy bertanya dengan wajah cengengesannya. Benar-benar terlihat menyebalkan di mataku ini. Ya Tuhan, terbuat dari sperma macam apa si Sandy ini.

"Kalau nggak, gue bakal bikin lo nyesel karena udah jadi maling bolpen!" Kataku sambil berteriak. Aku benar-benar tidak main-main atas ucapanku itu. Jika dia tidak bergerak untuk mengembalikan bolpen milikku, dengan senang hati aku akan membalas kelakuannya dengan gila-gilaan.

"Ogah, muka lo jelek nggak usah teriak-teriak!" Sandy balik berteriak padaku. Bodoh sekali, wajahnya saat berteriak lebih jelek dari wajahku. Dasar, magadir. Magama.

Setelah berteriak, dengan wajah garang dan tangan mengepal Sandy meninggalkan kelasku. Lengkap dengan bolpen masih berada di kantong celana temannya. Memang, Sandy ini maling bolpen. Awas nanti, aku bakalan balas.

Aku mendengus sambil misuh.

"Mitha di kantin lagi, ini gue mau pinjem bolpen siapa dong." Aku berdecak sambil berkacak pinggang. Sandy ini arrrgh, ngeselin!






💜💜💜💜💜






"Eh, Zel. Tumben bener berangkat pagi?"

Aku tersenyum pada Faisal. Dia ini salah satu anak OSIS. Kami dekat karena rumah kami berada di blok yang sama, kadang di hari minggu kita lari pagi bareng untuk keliling komplek.

AZELA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang