Prolog

56 4 2
                                    

Terkadang bukan takdir Tuhan yang tidak indah, tapi diri kita sendiri yang tidak mengindahkan takdir Tuhan.

****

Disebuah kontrakan kecil, Gadis manis berlesung pipi itu memulai hari-harinya seperti biasa, bangun disepertiga malam lantas bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ia membasuh dengan seksama anggota wudhunya,  mencoba meresapi tiap tetes airnya, dan menikmati sejuknya sampai ke hati.

Selesai berwudhu ia kembali ke kamar untuk melaksanakan shalat sunah tahajud. Ia membentangkan sajadah miliknya yang nampak sudah begitu usang.

Menghadap kiblat, Gadis itu berdiri diatasnya, dengan perasaan yang masih sama seperti dulu__remuk redam membawa sejuta harap pada Tuhan.

Ia mengangkat kedua tangannya memulai gerakan shalat.

Allahuakbar...

Bergetar hatinya ketika menyebut asma Allah. Tak terasa tetes demi tetes air jatuh dari pelupuk matanya, membuat pandangannya terasa kabur, tapi ia tak menghiraukan, ia terus melanjutkan shalatnya sampai dengan rakaat terakhir dan salam.

Assalamualikum wa rohmatulloh...
Assalamualikum wa rahmatulloh..

Salamnya mengakhiri shalat.

"Ya allah..."

Gadis itu menengadahkan kedua tangannya kehadapan sang khalik, sambil mengiba dan menangis. Air matanya berderai, ia tumpahkan segala keluh kesah batinnya selama ini. Hampir disetiap sujudnya ia mengaduh menangisi apa yang Tuhan gariskan untuknya

"Ya allah...." Ucap gadis itu lagi begitu lirih.

Terkadang ia merasa lelah, ingin rasanya ia akhiri saja hidupnya, tapi ia selalu ingat pesan neneknya waktu itu.

"Nak, selama kita diberi umur panjang oleh Tuhan maka selama itu pula kita harus optimis menjalani kehidupan ini, dengan ibadah itu artinya kita optimis dengan takdir Tuhan bahwa dunia tidak akan lari jauh ketika kita tinggalkan sejenak memenuhi panggilan Tuhan"

Dan satu lagi ucapan Neneknya yang masih melekat hangat di ingatannya.

"Nak, terkadang bukan takdir Tuhan yang tidak indah, tapi diri kita sendiri yang tak mengindahkan takdir Tuhan"

Begitulah kurang lebih perkataan almarhumah Neneknya waktu itu, kala ia merengek tentang Tuhan yang menurutnya tidak adil, mengapa ia digariskan dengan takdir semacam ini.

Neneknya adalah segalanya bagi gadis itu, hidupnya yang begitu kalut menjadi berarti karenanya. Kalau bukan karena beliau ia mungkin sudah mati membusuk dalam keranjang bayi dipinggir sungai kala itu.

Ya, ia hanyalah gadis malang yang ditemukan seorang perempuan tua berhati malaikat di pinggir sungai beberapa belas tahun silam. Perempuan tua itu akrab dipanggil Nek Narsih.

Beliaulah yang suka rela merawatnya sampai Ia menjadi seperti sekarang, mulai beranjak dewasa. Beliaulah madrasah pertamanya, tempat ia belajar mengenal Tuhan. Beliaulah yang menanamkan nilai-nilai religi dalam kehidupannya sehari hari.

Tapi sayang, Tuhan berkehendak lain, Tuhan inginkan Nek Narsih pergi lebih dulu ke surga beberapa bulan yang lalu. Tinggal lah ia sendirian di muka bumi ini __ sebatang kara, tanpa Ibu, tanpa Bapak, tanpa Nek Narsih.

Ini jalan takdirnya, garisan tangan Tuhan, nampaknya ia benar-benar harus menerima dan menjalaninya dengan ikhlas.

Namanya Gita karenina Athaya, atau akrab disapa Kare. Nama itu pemberian dari Nek Narsih. Beliau menamainya dengan rangkaian kata yang indah, Gita Karenina Athaya yang bila mana diartikan satu persatu nama tersebut memiliki makna yang positif. Gita artinya berhasil dengan baik, cerdas dan beruntung sedangkan Karenina artinya yang tersayang. Dan Athaya berarti suatu pemberian atau hadiah.

Kare adalah mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta. Sebenarnya, Kare kuliah karena beasiswa, kebetulan dulu waktu masih sekolah menengah Kare termasuk siswa yang berprestasi.

Meski untuk biaya kuliah gratis, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini Kare bekerja sebagai pelayan warteg yang berada tidak jauh dari kontrakannya.

Karenina adalah sosok wanita yang independen. Latar belakang kehidupan masalalunya membuatnya menjadi seperti yang sekarang ini, kuat dan tangguh.

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang