PONIYEM DIARY
Bab 14
🌺Sudah menjadi hukum semesta, satu kebohongan akan diikuti dengan kebohongan-kebohongan lain untuk
menutupinya🌺================================
▪Rabu, 30 Januari. Sore
Setelah semalaman berdiskusi dengan Maria, akhirnya di sini aku sekarang. Memencet nomer telepon Ramba dan mengiriminya pesan.Berbeda dengan Toni yang nggak sampai sepuluh detik langsung membalas satu pesanku dengan sepuluh pesannya. Ramba membiarkan pesanku menjamur lama nggak terbaca, bahkan hingga tiga jam berikutya.
Akhirnya pesan itu dibalasnya lima jam berikutnya. Dan aku kecewa. Aku telah mengirimkan delapan pesan perkenalan yang manis plus sepuluh stickers limited edition, dan dia hanya membalasnya dengan dua pesan. Pesan pertama berisi satu kata 'Halo!' dan pesan ke dua berisi lima kata 'what can i help you?'. Sudah! Itu saja. Membuatku ilfil dan malas untuk melanjutkan komunikasi. Mungkin aku harus mencari orang selain Ramba yang easy going dan ramah dalam kirim mengirim pesan.
Jadi kalau selama ini kupikir yang bisa jual mahal itu hanya perempuan, maka hari ini kepercayaan itu telah terpatahkan. Pria pun bisa jual mahal, bahkan kemahalan hingga nggak masuk di akal. Salah satunya Ramba. Semoga saja nggak ada pria Indonesia yang sepertinya.
“Buni, ngapain kamu di sini?” ucap Khumar mengagetkanku. Pria India itu sudah berdiri tepat satu meter di depanku.
Aku gelagapan. Kukerjapkan mataku beberapa kali untuk me-refresh kepala. “Ngg... n-nggak!” Aku memasukkan ponsel ke saku baju hangatku.
Kami sedang berada di taman belakang rumah, tempat pelarianku kalau ingin bertelepon dengan tenang tanpa hambatan---kecuali oleh Sabia dan sekarang, Khumar-- karena tempatnya yang sepi. Meskipun sangat dingin kalau di bulan seperti ini.
Aku duduk di salah satu kursi batu yang terletak tepat di tengah-tengah taman kecil berukuran 3x4 meter persegi. Kuletakkan tangan yang kosong di meja dengan mata menekuri lengan baju tebalku yang berwarna abu-abu hitam.
Khumar duduk di bangku depanku, kami terpisah oleh meja batu bundar. Dia melipat tangannya di meja. “Kalau boleh tahu, pacarmu orang mana?
Lagi-lagi aku kelabakan. “Emangnya kenapa?” tanyaku balik. Rasanya seperti ada bola tenis yang tersesat di tenggorokanku.
“Nggak kenapa-kenapa, sih. Siapa tahu saja aku kenal dia. Uhm... maksudku, dia ada di sini kan? Atau di Indonesia?” Kepala pria itu bergerak-gerak seperti biasa.
“Di sini,” jawabku cepat yang sedetik kemudian aku menyadari ketololanku. Ah, seandainya aku punya nomer Odi. Di mana pria itu saat ini. Aku merindukannya. Iya, aku merindukan pacar orang! Dan, sepertinya label 'pacar orang' nggak menyurutkan rinduku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PONIYEM DIARY (COMPLETED)
ChickLitBeing single at 33 wasn't easy. Jomblo di usia 33 itu tidak mudah. Apalagi kalau seluruh keluarga harus menanggung akibat dari kejombloanmu. Namun, mencari pasangan hidup itu juga tak semudah membalik telapak tangan. Apa yang dilakukan Pony, saat pe...