Menebar Kode

39.7K 7.5K 656
                                    

Selamat membaca, ditunggu bintang-bintang dan komen dari kalian.

==

Raven tak berhenti tersenyum. Apa dia pikir, aku berucap seperti tadi hanya celatukan saja? Ia tak tahu bahwa aku harus menekan kuat rasa maluku sebelum aku mengucapkan kode tadi! Setiap kali dia melihat kearahku, dari melirik sampai memandang, tawa atau senyum tak berhenti diulas di wajahnya. Semenjak kami mulai berkendara sampai tiba di Mercato. Perasaanku campur aduk. Senang dia terus menerus tersenyum, asupan gizi untuk jantungku. Marah, karena awalnya kupikir kode itu dimengerti, ternyata tidak sama sekali. Pengen ngunyah kepala orang rasanya!

"Bapak bisa nggak sih, nggak senyum terus? Saya serius tau ngomong gitu!" protesku begitu mesin mobil dimatikan.

"Ya kamunya lucu." Jawaban itu terlontar begitu saja, tak peduli perasaanku yang kacau balau.

"Saya nggak lagi ngelawak, Pak Raven!" pelototku padanya. Cinta satu arah membuat segalanya berantakan. Bahkan menghilangkan rasa takutku pada Raven. Mengomel sendiri, galau sendiri, bahagia sendiri, marah sendiri, patah hati sendiri. Semuanya sendiri. Deritanya mengalahkan para jomlo.

Dan bukannya berusaha menghilangkan senyumnya, dia tertawa terbahak-bahak seolah kerasukan jin sakit jiwa. "Oke, saya minta maaf," ucapnya begitu tawa mereda. "Saya nggak bakal olesin selai di roti kamu lagi. Dan saya nggak bakal ketawain bercandaan kamu lagi."

Inginku mengumpat! Bercandaan? itu tadi kode buat lo, Bokir! Apa perlu aku memberinya kode yang lebih jelas lagi?

Menahan kesal setengah mati, aku mengucap singkat terima kasih sembari melengos. Keluar dari mobil lalu buru-buru mengacak isi tasku. Menyalakan ponsel yang sedari tadi malam kumatikan. Aku harus menghubungi ulang Alfonso. Pria yang pernah menjadi pemandu ketika aku ke Italia beberapa bulan lalu.

Bagus, Mal. Fokuskan dirimu untuk bekerja!

Kami tidak langsung pergi ke tempat pertama yang telah terjadwal sejak awal. Raven menyarankan untuk mampir ke salah satu pasar lokal untuk membeli beberapa 'sogokan' jika sampai masakan pasta itu menggoda lidahnya.

Memasuki Mercato di San Lorenzo, kami mulai berkeliling. Berhenti sejenak di depan toko keju untuk menjadi pertimbangan salah satu hadiah namun aku buru-buru memberi tahu bosku, "Pak Raven, yang akan kita datangi ini punya home industry keju, bukan ide bagus kalau kita menghadiahi mereka keju," beritaku ketika Raven hendak maju memilih dan memeriksa harga.

Ia menoleh kearahku yang seketika membuatku mundur selangkah, mengikuti alarm kewarasanku agar tetap profesional. "Apa saranmu?"

"Wine dan daging? Waktu saya ke sini bareng Alfonzo, dia sempat kasih tahu saya di sudut Mercato ada toko daging yang terkenal karena semua dagingnya segar. Banyak banget yang datang setiap pagi ke sini hanya untuk belanja daging dari sana."

Tak memrotes saranku, Raven mengiakan begitu saja usulku. Sedangkan sudut hatiku menyebarkan racun kecewa. Dia sama sekali tidak peduli bahwa aku baru saja menyebutkan nama pria lain. dia juga tak bertanya tentang alfonzo.

Terus lo ngarep dia cemburu gitu? Lo bertepuk sebelah tangan, Mal! SADAR!

Tamparan dari sisi waras, membuat jantungku yang biasa bekerja semuanya sendiri, mulai sadar diri. Ciut nyali untuk mengharapkan sesuatu yang lebih, karena sejak awal semua ini datang dariku. Bukan dari Raven. Segala kebaikannya kemarin-kemarin sampai detik ini pun bukan karena ditengarai bahwa ada apa-apa di baliknya. Tapi memang, keadaan yang harus membuat Raven baik padaku.

"Di situ tempatnya?" tanya Raven menyadarkanku yang melamun. Ia menunjuk pada salah satu toko daging yang pagi ini punya antrian sekitar 20-an orang.

Begitu aku mengangguk, Raven mendorong tubuhku cepat-cepat. Berjalan menuju antrian panjang. "Kita harus cepat sebelum ada yang antri lagi," terangnya yang langsung menghilangkan derap di jantungku.

Trapped with The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang