1

5 0 0
                                    

"Matahari tlah tiba, burung burung berkicau, langit gelap menghilang na na na na na...." dengan suara paraunya ia bernyanyi tanpa nada. Ntah apa yang merasuki dirinya hingga ia bersikap itu di pagi buta.

Dug dug dug

Pintu kamarnya di ketuk tanpa henti dari luar. Gadis itu melihat bayangan dari sela sela bawah pintu kamarnya. Gadis itu berdecak kesal. Bukannya bangkit dan membukakan pintu, ia malah memasang earphone dan bernyanyi semakin keras. Dengan suara sumbangnya.

Sungguh ia merasa kesal pagi ini. Kakanya sengaja menjahilinya semalam. Kakanya menyuruhnya membeli makan malam, namun begitu sampai rumah, justru kakanya tidak ada di rumah bahkan kunci rumahnya pun di bawa oleh kakanya. Mau tak mau ia memutar otak agar dapat masuk ke dalam rumah tanpa kunci.

Dalam fikirannya terlintas untuk menginap di rumah tetangganya, tapi malam itu sudah sangat larut ia jamin tetangganya sudah memasuki alam mimpinya masing - masing. Ia pun tidak dapat menelefon siapa pun karena ponselnya ia tinggal di kamar karena sedang di charger. Kakanya pun tidak meninggalkan pesan apa pun begitu ia berhasil masuk rumah. Karena itulah ia sungguh naik pitam begitu kakanya menjaihilinya seperti itu.

Ia tahu kakanya saat ini baru saja pulang dan akan pergi tidur, ada dendam membara dalam matanya begitu mendengar suara deru mobil memasuki pekarangan rumah.

Dengan gesit ia mengunci semua kamar yang ada di rumahnya (kecuali kamarnya sendiri) dan menaruh semua kunci kamar di kantung jaketnya. Bibir tipisnya pun tersenyum puas.

Ia teringat kakanya mempunyai banyak kunci cadangan untuk kamarnya sendiri karena ia sering lupa menaruh kunci kamarnya. Ia kemudian kembali membuka kamar kakanya memberantakan sofa dan kasur kakanya. Matanya melirik meja kerja kakanya, berniat memberantakan meja tersebut tapi ia urungkan. Duh bang untung adinda masih punya hati yang baik jadi ngga adinda berantakin juga itu meja. Batinnya. Ia kemudian memasuki kamarnya dan mengunci pintu kamarnya.

Ia tahu kakanya tidak akan pernah mau tidur di sofa, kursi atau lantai. Kakanya punya pengalaman buruk dengan itu semua. Dari dalam kamar ia pun tertawa jahat.

Suara langkah menaiki tangga mulai terdengar. Ia pun mulai bernyanyi dengan suara paraunya karena ia sendiri baru saja terbangun dari tidur, dan langsung terbersit untuk membalas dendam pada kakanya.

Kakanya sungguh akan terganggu dengan nyanyian sumbang tanpa nadanya. Ia terus bernyanyi seola olah tidak akan ada yang bisa menghentikan nyanyiannya. Ketukan pintu pun ia rasa masih terdengar hingga kini.

Brak.

Spontan kepalanya melihat ke arah pintu, takut kalau kakanya mendobrak pintu kamarnya. Ia bernafas lega kakanya tidak mendobrak pintu itu. Paling paling kakanya hanya menendang pintu itu. Ia tertawa jahat dalam nyanyian sumbangnya. Tubuhnya pun ia goyangkan seolah sedang mengadakan konser di dalam kamarnya.

Suara deru mobil kembali terdengar. Gadis itu fikir kakanya akan langsung kembali pergi. Ia melihat dari jendela kamarnya. Tapi tidak, mesin mobilnya menyala hanya saja tidak pergi dari tempatnya. Ia terus bernyanyi dan menggoyangkan pinggulnya ke sana kemari.

Ia tidak peduli apa kata tetangganya. Tetangganya sudah biasa mendengar kebisingan dari rumahnya di pagi hari atau malam hari. Menjengkelkan, mungkin itu tanggapan tetangganya. Rumahnya pernah didatangi oleh RT, karena laporan tetangga barunya yang merasa terganggu dengan kebisingan dari rumahnya.

Teguran itu seperti angin lalu jika orang tua mereka tidak di rumah. Rumah itu akan seperti itu setiap pagi atau malam harinya. Ya, atau bahkan, keduanya. Mereka berdua sudah besar tapi ntah kenapa kelakuan mereka tetap saja seperti anak kecil yang berebut mainan. Seperti musuh bebuyutan.

Setelah di rasa sudah cukup lama, hingga suara ia pun sudah mulai normal ia menghentikan kegiatan absurdnya itu dan melangkah ke pekarangan rumahnya. Mengecek apa yang dilakukan kakanya di dalam mobil.

Kakanya tertidur di dalam mobil. Ia mencoba membuka pintu mobilnya. Klik. Tidak dikunci, ia pun tersenyum sarkastik dan segera berlari kembali ke kamarnya. Mengambil lipstik merah dan spidol hitam andalannya untuk menjahili kakanya. Ia turun dari tangga dengan perasaan bahagia.

Ia kembali membuka mobil kakanya. Dengan hati hati ia melukis dengan indah di wajah tampan kakanya itu. Sambil bersenandung dalam hati ia menggambar alis dengan spidolnya sebagai sentuhan akhir. Ia tersenyum puas melihat hasil karyanya. Mengeluarkan ponselnya dari dalam jaket. Kemudian memotret kakanya beberapa kali dan menguploadnya ke snap instagram.

_____

Suara tepuk tangan menggema dalam ruangan tamu. Aku merasa puas dengan pembalasan ku kali ini. Lancar!. Aku merasa bangga, karena jarang sekali aku berhasil. Biasanya bang Fandi yang menang. Mata ku menelisik ruangan. Melihat kekacauan yang kami perbuat semalam.

Kami bermain game yang kalah harus menuruti permintaan yang menang. Sialnya semalam aku kalah dan berakhir harus memanjat tembok untuk masuk ke kamar. Untung balkon kamarku tidak ku kunci semalam.

"Hari ini biar gua aja deh yang beresin rumah, sebagai adik yang baik hati dan tidak sombong, lagian kasian juga bang Fandi" ucapku sambil mengambil serbet dan alat alat kebersihan lainnya di dapur.

Dengan telaten aku membersihkan setiap sudut rumah dengan baik. Tanpa menyisakan debu sedikit pun. Bang Fandi akan mengomel tanpa henti seperti ibu ibu penagih uang kosan kalau tau ada yang terlewat.

Aku dan bang Fandi sering sekali ditinggal di rumah berdua. Kami biasa membagi tugas untuk membersihkan rumah, memasak dan berbelanja. Bukan. Bukan karena mama dan papa tidak tinggal dengan kami atau tiada. Mereka sering sekali pergi keluar negeri untuk mengurus bisnis.

Kenapa tidak pakai pembantu ? Terakhir kali kami memakai jasa pembantu sewaktu aku kelas 6 SD dan bang Fandi baru masuk SMP. Bukan karena larangan mama dan papa kami tidak memakai jasa pembantu lagi. Itu karena kemauan kami sendiri. Semulanya kami memang merasa kerepotan. Akhirnya kembali memakai jasa pembantu, tapi tidak semua dikerjakan oleh pembantu. Sedikit sedikit kami terbiasa mengerjakannya, hingga akhirnya kami merasa mampu untuk sendiri dan pembantu tersebut kebetulan sudah ingin mengundurkan diri karena usianya yang sudah cukup renta. Jadilah kami terbiasa.

Aku mengecek bahan bahan dalam kulkas, semuanya masih lengkap. Aku mulai memasak menu sarapan kesukaan bang Fandi. Sogokan agar ia tidak marah karena kamarnya tidak aku rapihkan. Aku malas merapihkan kamar bang Fandi, karena ada beberapa barang yang bang Fandi bawa begitu pulang tadi, seprtinya. Karena sebelum kamar itu berantakan barang barang itu tidak ada. Kebiasaan ku, jika ada barang baru datang aku tidak mau merapihkan barang baru tersebut. Takut takut salah taruh atau apa pun itu. Aku punya sedikit trauma dengan kotak barang.

____

Aroma masakan tercium begitu menggoda ketika aku memasuki ruang tamu.

Kania kanyanya udah bikin sarapan. Batinnya.

Baru saja aku ingin melangkah kembali, seseorang mengucapkan salam dari depan gerbang sana. Aku melangkah menuju gerbang dan melihat siapa yang datang berkunjung pagi-pagi seperti ini.

Begitu aku membuka gerbang bukannya salam atau sapaan pagi yang ku dengar justru tawa seseorang yang sangat merdu yang terdengar. Aku terpesona dengan tawanya. Mendengarnya aku tersenyum.

Tapi tunggu...
Kenapa dia ketawa bukannya ngucapin salam(?)
Ko songong gitu ya.
Siapa dah ni orang(?)
Batinku, ketika sadar ada yang salah disini.

Aku menatap tajam padanya, ia pun segera berusaha menghentikan tawanya.

"Muka lo" ucapnya menahan tawa sambil menunjuk muka ku.

Hetdah ni orang songong bat dah kenal kaga nunjuk nunjuk muka. Batinku kembali berbicara.

"Emang muka gue kenapa ?" Tanyaku sambil mengeluarkan ponsel dari kantong celana.

"SHIT!!!!" Teriakku dan segera berlari ke dalam rumah.

"ADINDA KANIA PUTRI AVENGERS!!!"

M E S S YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang