Pemuda itu telah lama duduk di sana sembari memperhatikan lampu pijar redupnya yang berkedip di setiap menit,memperhatikan dengan padangan mata tanpa adanya kehidupan yang berdiam di sana.
Hanya kekosongan yang mengisinya dan telah lama tinggal di bintik hitam mata indah itu. Hembusan nafas yang tidak stabil itu selalu mengisi renungan tiap-tiap malamnya,menjadikan seolah apa yang dialaminya setiap hari adalah sesuatu yang menyesakkan dada.
Kemudian ketika suara-suara percakapan itu muncul seperti biasanya dari rumah sebelah,dia mulai memejamkan mata dan menikmati setiap kata-kata yang keluar.
Memainkan dalam kepalanya seolah ia terlibat dalam percakapan kecil keluarga tersebut. Membayangkan bahwa ia juga berada di meja yang sama di setiap makan malam mereka,duduk berseberangan dengan dua saudaranya dan sibuk mendengar perkataan ibu yang mengambil topik apa saja sembari mengangkat sup rumput laut dari panci yang masih panas. Sementara ayah baru saja pulang dan menutup pintu sembari berkata 'aku pulang!' lalu kemudian adik bungsu berlari kearahnya sembari berkata 'Appa!'
Pasti itu akan sangat menyenangkan.Sementara setelah makan malam itu berakhir anak laki-laki itu tersadar dari lamunannya dan mulai memandangi seluruh sudut rumah kecilnya yang gelap dan sunyi tanpa ada seorangpun disana kecuali dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat dia tetap diam dalam posisi yang sama sebelum akhirnya bergerak dari tempat yang hampir menghangat oleh tubuhnya tersebut,menuju kearah dapur yang sempit,dan mengambil beberapa bungkus ramyeon lalu merebusnya dalam panci kecil berisi air mendidih.
Ia masih tetap bisu dalam diamnya,memandangi bulir-bulir air panas yang kembali mendidih di panci.
Hanya saja ada sesuatu yang lain hari ini darinya.
Segaris air mata itu berhasil merambat keluar dari pelupuk mata dan menetes membentuk garis lurus sebelum akhirnya berkelok ke arah hidungnya dan jatuh keatas meja kompor yang menyala.
Ini untuk pertama kalinya ia menangis setelah sekian lama,setelah begitu banyak malam-malam yang dilewatinya sendirian ditemani percakapan-percakapan harmonis keluarga tetangganya yang tinggal di rumah besar belakang,ini untuk pertama kalinya ia benar-benar menyadari betapa hancur keadaannya hingga tanpa sadar ia mengasihani dirinya sendiri dan menangis seperti sekarang.
"Aisshh Minhyun, Untuk apa air mata ini?" Gumamnya sembari menghapus kasar air mata itu dengan punggung tangan.
Menyadari bahwa sekeras apaun tagis yang ia keluarkan,seberusaha apapun ia untuk hidup seperti layaknya orang lain.
Tetap saja ia tak bisa menyembunyikan luka yang mengangga lebar pada dadanya tersebut.
Untuk manusia rasa sakit tetaplah rasa sakit biar sehebat apapun kita berusaha menutupinya.
-
Minhyun tetap terjaga di tempat tidurnya meski jam di atas meja telah menunjukkan pukul dua pagi,kedua bola mata hitam indah itu tetap menerawang ke atas langit-langit kamar yang bercahaya remang.
Kedipan matanya tidak berkedip beraturan seperti biasa,dia tampak berpikir. Nyaris bisa dikatakan terjebak dalam lamunan panjangnya.
Katakanlah ini mimpi buruk.
Akhirnya Minhyun bangkit dari tempat tidur dan menyalakan lagi seluruh lampu,mendudukkan diri dan bersandar pada palang tempat tidurnya.
Kini bola mata hitam itu menatap pada celah kecil lubang udara dekat jendela yang berada persis di atas tempat tidurnya.
Desau angin menyapukan dirinya dalam kesunyian malam yang dingin. Memainkan melodi sepi yang nyaris membunuh sebagian kebisingan suara kendaraan yang terdengar masih melintasi jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Know What To Do (Long ver. + Prolog ft.part 1)
Fanfic"Bagaimana mungkin hidup berjalan seperti maumu?" Tanyaku. Kau membeku saat hatimu tak bisa terbuka. Kau hancur, Begitu yang ku lihat. "Andai hatimu bisa kucairkan" Kataku. Mungkin akan ada sesuatu yang berbeda,Batinku. Kini tiada gunanya untuk meny...