***
“Noona,”Gadis berumur 7 tahun itu menoleh, mengerjapkan mata bulatnya ke arah anak laki-laki yang terpaut satu tahun lebih muda darinya, “Eum?”
“Papa dan mama pergi lagi?” ucapnya, menatap lurus ke arah gadis kecil di depannya, tak terlihat binar kekanakan dalam matanya yang justru terlihat kelam. “Kita tidak diantar lagi?”
Cheline mengangguk, beringsut mendekati sang adik lalu mengusap kepalanya sayang sebelum tersenyum lebar, “Eung, hari ini kita berangkat berdua lagi ya?”
Cheline mengeratkan genggaman pada tas ranselnya ketika adiknya mengangguk. Mereka berjalan bersandingan menyusuri trotoar, menuju ke sekolah.
●●●●
“Kembalikan, itu plushie kesayanganku!” gadis itu terus memekik selagi menjulurkan tangan dan berjinjit tinggi-tinggi, berusaha menjapai boneka kecilnya yang direbut oleh si pengganggu.
“Kembalikan bonekaku, Rey!”
Cheline memekik sekali lagi dengan suara cemprengnya dan melompat-lompat kecil. Wajahnya sudah memerah dan ia terlihat seperti hendak menangis.
“Menangislah dulu,” Rey -siswa dua tingkat diatas Cheline- tertawa puas melihat gadis yang ia ganggui sudah hampir menangis.
Cheline benar-benar akan meloloskan air matanya hingga pandangan buramnya menangkap sosok Revandi di belakang Rey. Dengan —oh apa itu? Sebuah cutter?— di genggaman tangan chubbynya.
“Noona, apa ia mengganggumu lagi?” Revandi berjalan mendekati mereka berdua, tatapannya yang dingin menatap lurus ke arah Rey dan Cheline.
Suara Revandi membuat Rey mau tidak mau menoleh, sebelum akhirnya Rey tersenyum remeh. Sedangkan Cheline hanya mengangguk cepat dengan bibir mencebik, terlihat seperti sedang mengadu pada adiknya.
“Hei anak kecil menjauhlah dari sini sebelum aku juga mengganggumu,” Rey berucap penuh percaya diri.
Revandi tidak bergeming, ia hanya menatap Rey dengan tatapan datar andalannya, sedikit banyak Rey merasa terintimidasi.
“Berikan itu, ke dia.”
Revandi mengarahkan cutternya menuju plushie di tangan Rey dan noonanya secara bergantian.
Rey tertawa keras, “Letakkan itu, bocah kecil. Kau tidak pantas bermain dengan mainan semacam itu.”
Rey masih mengangkat tangannya setinggi mungkin, menatap Revandi dan mengabaikan Cheline yang terus melompat berusaha mengambil boneka plushienya.
“Benarkah, sunbae?”
Bocah itu mengangkat satu alisnya, nadanya seakan-akan terkejut dengan pernyataan Rey. Sedangkan Rey mengerutkan keningnya, heran dengan bocah didepannya yang terasa lain, terasa tidak wajar untuk anak seumurannya. Lihatlah senyum polos namun membuat Rey terintimidasi itu.
Tanpa sadar Rey menurunkan tangannya dan Cheline dengan sigap mengambil plushie kesayangannya, lalu tersenyum lebar memeluk sang plushie.
“Kau sudah mendapatkannya kan, bocah kecil. K... kalau begitu aku ingin pulang!”
Rey bergegas berbalik menjauhi kakak-beradik Bae itu, sedikit merutuki nada bicaranya yang terasa aneh, seperti terkandung sarat takut didalamnya.
Rey terus melangkah menjauh sampai ia berjengit, merasakan nyeri di kaki kanannya. Ia berhenti lalu menoleh, mencari tahu apa yang menyebabkan kakinya kian semakin pedih, rasanya seperti hujam ribuan jarum.
Rey membulatkan matanya, matanya berkaca-kaca dengan pupilnya yang bergetar menahan sakit, keningnya berkeringat dingin. Rasanya sungguh teramat sakit, terlebih ia masih tergolong anak-anak.
Oh lihat, ada sebuah cutter yang menancap di kaki kanannya.
Rey kembali menoleh ke belakang, menolak memperhatikan kakinya barang sedikit, karena terus mengucurkan darah yang semakin terasa anyir di indra penciumannya.
Matanya menangkap bayangan Revandi, yang ia yakini adalah sang pelaku, sedang tersenyum tipis tanpa rasa bersalah justru terlihat puas setelah melemparkan cutter tajam ke kakinya. Serta sang noona, Cheline yang mengerjap di sampingnya bersama dengan tatapan penasarannya yang semakin terfokus ke arah kaki Rey yang terus-terusan mengucurkan darah hingga wajah Rey mulai memucat.
“Akh— k..kau…” Rey merintih, berucap lemas sebelum kesadarannya hilang ditelan kegelapan.
Cheline menoleh, mengerjap kecil ke arah Revandi yang pandangannya masih lurus menatap Rey yang kini kehilangan kesadaran. Cheline dan Revandi memutuskan untuk mendekat.
“Maaf, tapi kau tidak akan pernah tahu kecintaanku terhadap mainan itu,”
Cheline menoleh ke arah adiknya lalu memekik takjub, mengeratkan pelukan pada plushienya. “Bunny, lihat itu, darahnya terus mengalir. Keren sekali iya 'kan?”
Revandi hanya mengangguk kecil menanggapi ucapan Cheline, sembari berjongkok dan meletakkan secarik kertas di bawah tangan Rey yang masih terus pada posisinya. Kemudian ia mencabut kasar cutter yang masih tertancap di kaki Rey.
“Ayo, noona.” Revandi berdiri dan menggenggam tangan noonanya. Cheline mengangguk sesaat sebelum mereka berjalan pulang.
Perjalanan mereka ditemani senyuman lebar serta ocehan berisik Cheline mengenai harinya serta betapa pekatnya darah Rey yang terus mengucur dengan menyenangkan tadi, juga deheman Revandi yang terus mendengarkan cerita noonanya dengan seksama, seakan mereka lupa kejadian apa yang baru saja mereka alami.
●●●●
“Sunbae, kau merusak plushie kesayangannya minggu lalu. Jika aku lihat atau tahu kalau kau masih terus mengganggunya, atau jika kau mengadu pada yang lain mengenai hal ini.
Maka aku yang akan memotong jemarimu untuk dijahit ke plushie noona, mengganti lengannya yang sudah kau hilangkan. Dan darahmu yang akan kuberikan pada noona, karena ia bilang ia menyukai warnanya yang terlihat seperti kue red velvet, dan aku setuju.— Revandi”
KAMU SEDANG MEMBACA
Shewritedipity ✨
Teen Fictionೃ - Shewritedipity ₊˚.༄ (n.) Cheline's stories in Roleplay World with her famsties. ✦ ⌇🍯-; ❝ What's the inside of this book? ❞ ˊˎ- ˚₊·͟͟͟͟͟͟͞͞͞͞͞͞➳ AU ˚₊·͟͟͟͟͟͟͞͞͞͞͞͞➳ Vlog ˚₊·͟͟͟͟͟͟͞͞͞͞͞͞➳ Daily ˚₊·͟͟͟͟͟͟͞͞͞͞͞͞➳ Fake SNS ˚₊·͟͟͟͟͟͟͞͞͞͞͞͞➳ Imagine ˚...