Sudah satu jam berlalu semenjak Adi masuk ke dalam ruangannya di kantor. Tapi dalam satu jam itu dia hanya menghabiskan waktu dengan duduk dan termenung tanpa melakukan aktivitas apa pun. Dan penyakit lupa dirinya ini sudah berlangsung selama satu minggu. Tiada hari tanpa duduk melamun, entah itu di kantor atau pun di rumah. Bahkan pekerjaannya menjadi sedikit terbengkalai.
Padahal sebagai pucuk pimpinan perusahaan, dia harus selalu siap sedia kapan saja dirinya dibutuhkan. Namun satu hal yang paling dikhawatirkan adalah dia sudah lupa kepada keluarganya. Chatting, telepon, dan pesan singkat dari istrinya tak ada satu pun yang ia balas.
“Ah … mimpi, kenapa kau membiusku sampai lupa diri begini? Dan benarkah yang masuk ke dalam mimpiku itu Elva? Padahal aku sama sekali tidak mengingatnya, bahkan aku sudah melupakannya. Haruskah aku menganggap mimpi ini sebagai anugerah? Oh Tuhan, akankah mimpiku ini menjelma menjadi nyata ataukah hanya bunga tidur belaka?” gumamnya di tengah lamunan panjangnya.
“Jadi, karena mimpi itu setiap hari kau menghabiskan waktu dengan melamun dan sampai lupa diri?” terdengar suara papa menggema di belakang Adi.
“Papa?”
Adi langsung terkesiap dan memutar kursi kekuasaannya yang tadi menghadap ke arah jendela menjadi berbalik ke arah meja, tepatnya ke arah papa. Tapi bukannya khawatir dimarahi oleh papa, dia justru malah tersenyum. “Papa sudah lama masuk ke ruanganku?”
“Astagfirullah, ke mana saja pikiranmu itu, Di? Papa sudah berada di sini sejak lima belas menit yang lalu.”
“Oh … maaf, Pa, aku tidak mendengar suara Papa masuk.”
“Sebenarnya kau mimpi apa sampai kau lupa diri begini?”
“Emmm,” Adi bangkit berdiri. “Tidak, kok, Pa, itu cuma bunga tidur saja.”
“Kau jangan bohong, tadi Papa mendengar sendiri ucapanmu.”
“Iya, tapi, ‘kan, ini rahasia. Aku tidak mau sampai Nisa mendengarnya.”
“Maksudmu?”
“Rahasia, dong, Pa.”
“Ah, ya sudahlah, terserah kau saja. Yang penting kau tidak melalaikan tugasmu dan tidak lupa dengan meeting kita hari ini.”
“Papa tenang saja, aku sudah menyiapkan semuanya, kok. Dan aku janji, aku tidak akan mempermalukan Papa.”
“Papa pegang ucapanmu. Kalau sampai kerja sama ini gagal, Papa tidak akan segan-segan untuk menurunkan jabatanmu.”
Adi terlihat tak gentar sedikit pun mendapat ancaman mematikan dari papa. Malah dengan santainya dia berjalan ke hadapan papa, senyum yang tadi pun masih terlukis di bibirnya, kemudian dia berujar dengan penuh keyakinan, “Dengan senang hati, Pa.” Setelah itu, dia beranjak dari tempatnya berdiri. Di tangannya ada beberapa file yang akan menentukan nasibnya.
“Adi, apa kau masih mengingat Elva?” tanya papa yang membuat Adi menghentikan langkahnya.
Adi menoleh ke arah papa, mengedikkan bahunya, dan segera berlalu keluar.
Mendapat perlakuan seperti itu dari putranya, papa hanya bisa menghela napas dan memijat keningnya, mendadak kepalanya terasa pusing.
∞∞∞
Dengan langkah yang tergesa–gesa, Elva masuk ke dalam toko kue yang dikelolanya sendiri. Dia kesiangan. Akhir–akhir ini waktu tidurnya agak terganggu. Selain itu juga, pekerjaannya tiap pagi sungguh sangat menyita waktu. Dari mulai menyiapkan sarapan pagi, membangunkan suami dan anaknya, sampai menyiapkan barang bawaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKISAN MIMPI
RomanceLukisan mimpi itu terlihat maya, namun terasa begitu nyata. Bahkan wangi siluetnya masih tercium hingga detik ini. Seperti sihir yang menebarkan aroma memabukkan hingga membuatku lupa diri. #Senja 13052019 -