"Havanna!"
Seruan menggelar itu berasal dari seorang perempuan tambun berambut pendek sebahu dengan kacamata bertengger dibatang hidungnya. Dia Bu Emma, berlarian memanggil Havanna yang sengaja tidak menoleh ataupun berhenti ketika dipanggil olehnya.
"Havanna berhenti atau ibu lempar kamu pakai sepatu ibu!" Suaranya kembali menggema diantara lorong kelas sebelas.
Walau suaranya sudah memenuhi seluruh penjuru lantai dua, anak murid yang dia panggil dengan nama Havanna tetap saja tidak menoleh, bahkan langkahnya sengaja dipercepat. Seolah tidak mau berurusan dengan Bu Emma.
Plak!
"Ah sakit Bu Emmak!"
"Emmak! Emmak! Kamu itu ya udah saya panggil daritadi bukannya berhenti malah sengaja jalan dicepet-cepetin!" Bu Emma mengamuk dan Savanna sibuk mengusap-ngusap kepalanya yang terkena lemparan sepatu buluk Bu Emma.
"Saya bukannya jalan sengaja dicepet-cepetin, emang Bu Emmak aja jalannya lambat." Savanna mengelak, dia benar-benar tahu kalau Bu Emma memanggilnya sedari tadi, namun dia juga tahu mengapa guru tambun itu meneriaki namanya dengan khidmat.
"Wes! Gak usah banyak omong kamu. Ini rambut kenapa kayak anak ayam SD? Mau ibu gunting itu rambutnya, iya?" Ancam Bu Emma kepada Havanna yang seketika memelototkan matanya. Lalu sebelah tangan guru itu menarik-narik rambur Havanna yang berwarna pink tanpa peduli si pemilik rambut sedikit mengaduh kesakitan.
"Bu! Ini saya baru warnain semalem masa udah mau ibu gunting sekarang, jangan ya bu please lah." Kata Havanna sedikit memohon, hanya sedikit. Karena pada dasarnya dia tidak peduli dengan ancaman Bu Emma, siapa juga yang berani melawan Havanna jika dia sudah menyebutkan satu nama yang membuat siapapun yang mendengar lebih baik diam.
"Terserah...Havanna," Bu Emma menekan kata yang keluar dari mulutnya, lalu berkata lagi, "ndak peduli kamu baru warnain rambut kamu semalam atau tadi, yang jelas peraturan sekolah gak bolehin siswanya warnain rambutnya,"
Ya Havanna juga tahu peraturan sekolah tidak memperbolehkan siswanya mewarnai rambut. Memang tidak pengertian peraturan itu. Dia tidak tahu saja berapa uang yang Havanna keluarkan untuk mewarnai rambutnya.
"Tapi Papih gak pernah marah tuh bu kalau saya warnain rambut, kok ibu yang marah sih." kata-kata Havanna jelas menegaskan kalau Papih yang dia maksud adalah Januar Rahardja.
Januar Rahardja, pemilik Yayasan Pendidikan Pelita Harapan yang juga menaungi SMA Pelita Harapan, sekolah menengah atas dimana Havanna mengenyam bangku pendidikan.
Mendengar Havanna yang menyebutkan Papih, secara tidak langsung ia menegaskan kalau orang tuanya yang sekaligus pemilik sekolah inipun tidak melarang dia mewarnai rambutnya, lalu mengapa guru bernama Emma ini melarangnya?
"Lagian, Bu. Saya ada pemotretan besok dan emang warna rambut ini yang harus saya pakai buat pemotretan besok."
Oh jelas. Havanna tidak berbohong sama sekali soal pemotretan yang harus dia jalani besok. Karena sebagai seorang model, dia harus menyesuaikan tema yang akan dilakukan dipemotretan walaupun harus mengubah warna.
"Yo wes, kalau kamu sudah bawa-bawa papih kesayangmu itu ya ndak bisa apa-apa ibu dan soal pemotretan, selesai pemotretan rambutmu itu harus balik normal lagi warnanya! Ngerti ndak kamu?"
"Kalau saya inget wejangan ibu ya!" Jawabnya dengan tidak sopan, karena menjawab perintah Bu Emma sembari berlari menjauhi tempat dimana guru tambun itu misuh-misuh.
Setelah merasa cukup jauh jaraknya dengan Bu Emma, Havanna berjalan normal kembali, tidak berlari menjauhi perempuan yang tengah naik pitam.
"Duh dia gak tahu kali gue warnain rambut gue habis berapa." Katanya berceloteh ria disepanjang jalannya menuju kelas, dia sudah telat lima belas menit lebih karena meladeni Bu Emma. Tapi harus berurusan lagi dengan Pak Danu dikelas nanti. Udah sial ya tambah sial lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love The Way How You Treat Me
Teen Fictionmenyakitkan, tapi aku menyukai setiap perlakukan yang kamu lakukan kepadaku.