03 - benci tatapan Mahesa

4 0 0
                                    

Mahesa Riyadi akan selalu terlihat bergerombol bersama komplotannya—Keno Lazuardy, Gege Putra Bakrie dan jangan lupakan Havanna Adisti Rahardja yang selalu menyedot seluruh perhatian anak Pelita Harapan atau kerumunan orang yang tengah asyik berjoget mengikuti alunan musik EDM.

Mata mereka seakan tersihir setiap kali Mahesa dan kawanannya memasuki Fifty’s Club yang merupakan milik Om Gege, Ridwan Putra Bakrie.

“Langsung keatas atau lo pada mau have fun disini dulu?” kata Gege sedikit berteriak ditengah kebisingan.

Ke atas maksud Gege adalah ruangan milik Ridwan yang sudah diambil alih oleh keponakannya itu untuk dijadikan markas besar mereka.

“Gue mau disini dulu! Mau cuci mata!” Keno menyahut, sedangkan yang lain menganggukan kepalanya sepaham.

“Oke kalo gitu, gue juga masih mau main sama Siska! Cabut ya gue!”

“Yha kadal!”

Keno berteriak asal kepada Gege yang sudah berlalu pergi menuju meja ditengah-tengah club. Mereka juga tidak akan terkejut atau melarang Gege bermain dengan salah satu perempuan disini. Tenang saja, Gege tahu batasan dan tidak akan melakukan hal gila seperti yang kalian pikirkan.

“Kata Om Januar, lo gak boleh minum sedikitpun!” Mahesa berteriak tepat ditelinga Havanna, membuat perempuan itu sedikit terkejut.

“Kok gitu?” tanya bingung.

“Ya mana gue tau, tanya sendiri sama bokap lo.”

“Dikit sih, satu atau dua gelas doang, masa tetep gak boleh!”

“Gak! Gue gak mau diomelin sama bokap lo apalagi kalo Bunda ikutan, panas kuping gue!”

Havanna menghembuskan napasnya kasar, “Papih gak bakal tau Sa.”

“Batu banget buset anaknya!”

Bukan Mahesa yang nyeletuk, melainkan Keno yang duduk disofa sisi kanan Havanna.

“Bawel Ken! Gak ngomong sama lo gue!”

“Dih suka-suka gue lah.”

“Belum pernah gue tarik ya rambut lo!”

Havanna tidak bercanda untuk hal ini, dia sudah merapatkan duduknya kearah Keno, bersiap menarik rambut lelaki bermulut lentur itu.

Jelas saja Keno sudah memundurkan tubuhnya dari jangkauan Havanna, “Awas aja sampe tangan lo nyentuh rambut gue, gue tarik balik rambut lo.” Katanya was-was.

“Keno banci!”

“Dih bodoamat!” katanya bertambah nyolot.

Mehasa tidak buta dan tuli, dia hanya enggan memisahkan mereka bedua, sudah terlalu sering melihat adegan Keno yang bertengkar dengan Havanna tapi akhirnya adegan tarik-menarik rambut yang dijanjikan perempuan itu tidak pernah terlaksana. Ogah juga sebenarnya melihatnya.

“Saa! Si Keno tendang kek mulutnya!”

Havanna menarik-narik lengan Mahesa tidak beraturan. Dan Mahesa menghembuskan napasnya, tidak menuruti perkataan perempuan itu menendang mulut Keno.

“Janganlah, ntar gak ada yang selemes dia mulutnya,” kata Mahesa tertawa di ikuti Keno. Niatnya hanya bercanda, tapi Havanna sudah jelas tidak suka.

“Lagian Na, kayaknya susu kotak emang udah cocok sama lo deh.” Keno memulai lagi.

Lalu kali ini bukan tarikan dari tangan Havanna yang Keno dapatkan, melainkan pukulan tangannya yang mendarat dikepala lelaki itu, membuatnya mengaduh kesakitan. Sumpah demi apapun, pukulan tangan Havanna terasa seperti pukulan preman pasar yang tidak diberi jatah harian.

“Bangsul! Lo perempuan apa preman pasar sih! Tangan kok gede gitu tenaganya kayak tenaga si Thanos!” kata Keno mengaduh, tangannya masih setia mengusap-ngusap kepalanya yang berdenyut.

Astaga! Keno tidak habis pikir perempuan itu akan memukul kepalanya dan Keno tidak ada ancang-ancang untuk mengelak dari pukulan penuh kekerasan dari Havanna.

“Weh Mahesa jangan diem aja napa! Itu cewek lo buset tenaga Thanos!”

Cewek Mahesa. Havanna tidak keberatan dengan panggilan itu, Mahesa juga. Justru Havanna merasa aman jika orang mengenalnya sebagai milik Mahesa karena mereka akan memilih mundur mendekatinya daripada berurusan dengan Mahesa Riyadi.

Pernah suatu ketika, ketika Mahesa dan Havanna kelas dua, Havanna didekati oleh Galih, si kapten basket Pelita Harapan yang duduk dibangku kelas tiga. Galih saat itu sangat agresif mendekati Havanna dan itu sangat menggangu menurutnya, maka saat lelaki itu memaksa Havanna untuk jalan bareng, Mahesa turun tangan, tidak terima Havanna dipaksa saat perempuan itu tidak ingin.

Perkelahian hebat terjadi di parkiran Pelita Harapan, tidak ada yang mau ikut campur untuk memisahkan perkelahian yang menjadi tontonan mereka. Galih tidak terima saat Mahesa mendorong tubuhnya menjauh dari Havanna, lalu meninju wajah Mahesa penuh amarah dan terjadilah tontonan gratis untuk mereka yang penasaran.

Mahesa memukulinya habis-habisan dan Havanna menangis kejer saat itu, tidak tega dan bingung harus berbuat apa.

“Mampus! Makanya punya mulut gausah kayak cewek!” celetuk Havanna membela diri.

Kalau kalian tanya bagaimana reaksi Mahesa ketika Havanna memukul keras kepala Keno, dia hanya memperhatikan dengan sesekali tertawa kecil, enggan juga memisahkan. Karena memang Mahesa tidak terlalu kasihan dengan Keno.

“Udah, Na. Kasian si Keno, ntar lo dibales sama cewek-ceweknya mau lo?”

“Ya kan ada lo, tinggal gue ngumpet dibelakang lo terus lo yang hadepin,” Havanna menyengir, memperlihatkan deretan giginya yang rapih, “Mereka pasti langsung kicep kalo berhadapan sama lo.”

“Ya itu kalo ada gue, kalo gue lagi nggak ada?”

“Gue baleslah, gue gak secemen yang lo pikir juga kali,” kata Havanna sok bersikap dewasa dan pemberani.

Kepala Mahesa menggeleng pelan lalu tangannya dengan sigap mengacak rambut Havanna gemas. Ini sudah seperti ritual keseharian untuknya, mengacak rambut Havanna atau menarik pelan hidung perempuan itu.

Sesederhana itu interaksi mereka, namun jelas saja ada perasaan berbeda dalam hati mereka. Entah perasaan apa, Mahesa dan Havanna masih sama-sama belum menyadarinya.

“Si Bos kalo udah sama si Havanna lunak gitu ya kayak tulang dipresto!”

“Mau lo gue elus-elus juga lo?” tanya Mahesa iseng, yang diisengi menggidik ngeri, tidak bisa dibayangkan seorang Mahesa mengelus kepalanya.

“Jangan! Nanti tangan lo bau amis kepala Keno!” kata Havanna tertawa nyaring walau teredam dentuman musik, Keno mampu melihat perempuan itu puas sekali menertawakan dirinya.

“Kepala gue gak bau amis anjir,” Keno menggesek telapak tangannya ke kepala lalu mendekatkannya ke hidung, “Coba ni lo cium, gak bau.” Katanya lagi, namun dengan gerakan mendekatakan kepalanya ke hidung Havanna.

Dengan sigap Havanna mendorong kepala Keno walau lelaki itu masih berusaha menempelkan kepalanya pada hidung Havanna.

“Ih Keno! Minggir gak lo!” Tangan Havanna mendorong kepala Keno sekuat tenaga, tapi tetap saja lelaki itu lebih kuat.

“Ni coba cium! Gak bau amis ya!” kata Keno masih menjejal hidung Havanna dengan kepalanya.

“Kenooooo!” Havanna berteriak histeris.

“Gantengggggg...!” Teriak Keno melanjutkan teriakan Havanna memanggil namanya.

“Ken awasinlah kepala lo, kasian si Havanna kebauan.” Mahesa menggeser kasar kepala Keno dari wajah Havanna.

“Gak mabok kan lo nyium bau kepala Keno?” tanya Mahesa jahil, memancing seringai kesal dari Keno.

“Sialan emang lo berdua!”

“Apaansih ribut mulu anjir daritadi gue liatin,” itu Gege, datang entah dari arah mana, yang jelas dia duduk disamping Keno, “Keatas yuk.”

“Ayo!” seru Havanna antusias.

“Bentar, minuman gue belum habis.” Mahesa meneguk minumannya secepat kilat, berlari kecil mengejar ketiga temannya yang sudah jalan lebih dulu.

Mereka menaiki undakan tangga dipojok club yang akan mengarahkan mereka ke lantai teratas gedung ini, tidak ada lift yang disediakan maka mereka harus tetap tersadar agar bisa mencapai lantai atas.

Sesampainya disana, ruangan yang awalnya gelap ketika lampu belum dinyalakan berubah seketika. Terlihat sofa berbentuk huruf L berwarna merah gelap ditengah ruangan yang senada dengan warna wallpaper dinding, lalu ada televisi besar dihadapan sofa, karpet putih gading sebagai alas sofa, deretan foto mereka—Mahesa, Gege, Keno dan Havanna—berjejer rapih menempel di dinding atau diatas nakas ditiap sisi dinding, ada pantry kecil dipojok ruangan yang lengkap dengan peralatan dapur sewajarnya berserta kulkas, sebuah meja billiard dibelakang sofa dan sebuah pintu penghubung berwarna putih yang tertutup rapat.

“Udah lama gak kesini, kangen juga.” Havanna mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru ruangan ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti sebulan yang lalu.

“Makanya bilang sama Papih Januar biar gak nyuruh lu semedi terus dikamar.” Gege nyeletuk.

“Lo kira gue dukun semedi dikamar!” kata Havanna membalas.

Mereka semua tertawa mendengar celetukan Havanna. Perempuan itu, ibarat permaisuri dilingkaran pertemanan mereka. Andai Mahesa tidak mewanti-wanti mereka untuk tidak jatuh cinta pada Havanna, Gege si playboy kelas kakap mungkin sudah menggebet Havanna sejak dulu kelas satu.

Tapi peringatan keras dari Mahesa membuat Gege lebih baik mundur, Havanna bagaikan aset berharga yang harus dilindungi oleh Mahesa. Entah alasan apa yang mendasari lelaki itu harus menjaga Havanna setiap saat.

“Sa, gimana progress sama Tania?”

Tiba-tiba Gege angkat bicara, memecah keheningan diantara mereka semua yang sibuk dengan urusan masing-masing. Gege yang tengah bermain billiard dengan Keno, lalu Havanna yang menumpangkan kepala diatas pangkuan Mahesa.

Mendengar nama Tania disebut, kepala Havanna otomatis melihat kearah Mahesa yang sibuk memainkan poselnya. Mahesa deketin Tania?

“Ya gak gimana-gimana, biasa aja.”
Mahesa bicara tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, terlalu fokus sampai tidak sadar Havanna sudah bangun dari posisi sebelumnya dan memilih menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Memperhatikan obrolan yang tengah ketiga sahabatnya itu bicarakan.

“Boong! Yakali sama Tania biasa aja gitu.” Keno menyanggah.

“Ya emang biasa aja, kayak cewek lain yang gue deketin.”

“Tania anak IPS?” tanya Havanna memotong pembicaraan mereka.

Lalu kepala Keno dan Gege mengangguk seirama, berbeda dengan Mahesa yang diam saja. Havanna sama sekali tidak suka mendengar nama yang sejak kemarin dia sudah membencinya. Tania, kenapa nama itu membuat Havanna benci tanpa alasan yang jelas?

“Gue pulang.” Katanya datar, tapi terdengar jengkel.

Havanna benar-benar bangkit dari duduknya, meraih tasnya yang dia taruh diatas nakas dekat televisi. Langkahnya terlihat gusar, menimbulkan pertanyaan dikepala dangkal Keno dan Gege, kenapa perempuan itu tiba-tiba pamit terburu-buru.

“Si Havanna kenapa dah?” tanya Gege memperhatikan Havanna yang pergi dengan gusar.

“Gatau,” kini giliran Keno menggidik bahu, sebuah arti bahwa dia tidak tahu apa yang terjadi pada Havanna.

“Weh Sa! Mau kemana lo?!”

Mahesa sama tingkahnya seperti Havanna, dia berlari mengejar perempuan yang enggan dikejar itu, sesekali juga menyebut namanya.

“Na! Havanna!”

“Lo kenapa sih?!” Mahesa mencekal tangan Havanna, menarik paksa perempuan itu untuk berhenti berlari dan bercerita mengapa tiba-tiba ingin pulang.

Apa soal Mahesa mendekati Tania? Mahesa segera memusnahkan prasangkanya. Sebab Havanna tidak pernah seperti ini jika mendengar Mahesa mendekati seorang perempuan, karena memang begitu sifatnya. Havanna sudah terbiasa dan tidak akan marah, karena mereka hanya berteman.

Lalu sekarang Havanna kenapa?

“Havanna! Lo kenapa sih?!” tanya Mahesa masih mengikuti perempuan itu yang sudah menuruni anak tangga.

Masih berjalan lurus membelah kerumunan manusia untuk mencapai pintu keluar, dia tahu sekarang sedang menjadi perhatian karena berjalan setengah berlari diikuti Mahesa yang memanggil-manggil namanya terus-menerus.

Menyebalkan memang.

“Gausah ikutin gue! Gue mau pulang!”

“Lo gak bawa mobil, Havanna. Dan lo berangkat bareng gue, jadi lo harus pulang sama gue.” Mahesa tidak lagi menarik tangan perempuan itu untuk sedekar berhenti dan menanyakan mengapa sikapnya seperti itu.

Alarm mobilnya berbunyi, mobil BMW putihnya sudah bersiap membawanya dan Havanna pulang.

“Gue bisa naik taksi.” Havanna menolak ajakan untuk mengantarnya pulang, padahal Mahesa sudah membukakan pintu mobil untuknya, tapi perempuan itu berjalan menjauh dari mobil Mahesa.

Terpaksa Mahesa mengejar perempuan itu lagi, dengan langkah lebar, Mahesa bisa menghentikan langkah Havanna dengan cepat.

“Pulang sama gue,” kini tidak akan dia biarkan Havanna pulang sendirian, seperti yang pernah terjadi, “Jangan ngulang kesalahan yang sama.” Katanya penuh intonasi penekanan.

Havanna tidak dungu untuk mengerti kemana arah pembicaraan Mahesa mengarah, tapi dia tidak tahu mengapa egonya terus-menerus bisa menguasai dirinya. Dia melepaskan tangan Mahesa yang mencekalnya.

“Gue bisa pulang sendiri,”

“Gak! Gue gak ngijinin, pulang sama gue dengan kemauan lo atau gue paksa lo pulang sama gue?” tuturnya dibuat setenang air, namun tersirat makna jangan bantah perintah gue.

Maka Havanna tidak bisa mengelak atau membantah Mahesa jika nada bicara dan sorot matanya sudah sedingin es di kutub dan menusuk siapapun yang menatapnya.

Dengan berat hati dia mengikuti langkah Mahesa yang menarik tangannya dengan kasar, terasa sakit tapi Havanna tahu dia juga salah karena membuat Mahesa marah.

“Masuk.”

Seperti orang yang diambil alih pikirannya, tanpa ragu Havanna mengikuti perintahnya. Masuk dan duduk di kursi samping pengemudi, Havanna mengalihkan pandangannya pada jalanan sepi yang lebih enak dipandang daripada melihat rahang Mahesa yang mengeras dan dialah penyebab Mahesa seperti itu.

“Jangan pernah bikin gue marah sama lo lagi, Havanna.”

Entah harus merespon apa, Havanna mengerti mengapa Mahesa harus marah kepadanya. Dan harusnya juga Mahesa tahu kalau Havanna tidak suka lelaki itu marah dan menggunakan sorot mata itu ketika menatapnya. Havanna ingin marah pada Mahesa, berkata kalau dia benci saat Mahesa menatapnya sedingin es. Tapi dia tidak bisa marah, Havanna lebih baik diam dan berusaha menahan air mata yang akan jatuh membasahi pipinya.

                               ***

Serasa bangga bisa update sehari gini wk. Sebagai reward atas kerajinan gue kali ini, tolong vote sama comment ya! Share juga ke temen-temen kalian beb hehe.

Karawang, 9 Juli 2019
21.44

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Love The Way How You Treat MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang