Yang namanya ketemuan sama besties, apalagi setelah sekian abad, nggak cukup kalau cuman dihabiskan dengan makan dan nonton. Akhirnya kami membuat keputusan bulat, menginap bareng. Karena berbagai alasan yang kebanyakan dibuat-buat, kosanku yang terpilih menjadi basecamp. Demokrasi. Musyawarah mufakat. Bullshit, kalau Kezia dan Amara sudah kong-kalikong duluan. Pastilah aku kalah suara.
Setelah memesan banyak makanan untuk stok begadang semalaman, kami langsung meluncur. Amara sekarang bawa motor untuk kerja. Katanya, selain untuk efisiensi waktu, dia bisa irit juga. Jadilah kamu naik motor bertiga. (don't try this!!)
Jangan dikira kami tenang berkendara begitu. Tahu, itu melanggar dan bahaya. Apalagi polisi sekarang, garang-garang. Sepanjang jalan, Amara dan Kezia berisik banget. Setiap mendekati lampu merah, Amara menepi, memperhatikan sekitar lampu lalu kintas dengan seksama. Pun dekat pepohonan. Maklum, petugasnya kadang suka berteduh di balik pohon. Setelah situasi dirasa aman, dia akan melajukan lagi motornya.
Tahu nggak sih, aku sempat beberapa kali harus turun dan jalan kaki, saat Amara atau Kezia berseru, "Polisi!" Nasib. Coba tadi aku naik ojol aja ya?
"Saki! Saki! Telmi kok dipelihara?" rutukku sembari mengetuk-ngetuk kepala, saat berjalan kaki. "Kalau tahu ujung-ujungnya ke tempat gue, ya mending dari awal aja. Kan gue nggak perlu dipaksa olah raga gini."
Aku menghirum udara banyak-banyak, biar oksigen di darahku cukup, untuk terus berjalan. Amara dan Kezia terkekeh saat aku menghampiri mereka dengan terengah.
"Sini! Gantian gue yang bawa motornya," kataku begitu sampai.
"Emang lo punya SIM?" sambar Kezia datar.
"Gue tahu, lo bisa bawa motor. Selap-selip pun lo mahir. Tapi, buat apa kalo nggak punya SIM?" timpal Amara.
Rasanya pengen ngerauk muka tuh bocah dua. Awas saja! Abis ini aku bakalan bikin SIM. Bukan cuma SIM C, nanti aku bikin sampe Z sekalian. Kayaknya, pas sampe kosan kudu langsung nimbang nih. Jarumnya bakalan geser ke kiri berapa garis, ya?
Hampir satu jam, akhirnya kami tiba. Tadinya aku mau langsung mandi, tapi keduan Kezia. Udah gitu pakai teriak-teriak minta dipinjamin baju dan dalaman. Ah, jangan lupakan pembalut, ternyata ini hari pertamanya. Untung aku selalu sedia.
Ngomong-ngomong soal untung, kadanga, keberuntungan itu harus diciptakan, bukan hanya ditunggu dan diharapkan. Kalau soal ukuran baju, kami bertiga beruntung karena memiliki ukuran yang sama. Hanya beda selera. Kezia lebih feminin, Amara kasual tapi lebih dominan ke feminin, dan aku kasual sejati. Keberuntungan yang diciptakan untuk kasusku adalah dalaman. Aku sengaja menyediakan satu lusin CD baru. Kalau BH nggak perlu, karena pas di kamar, biasanya cewek-cewek braless. Plis, deh! Itu pikiran jangan ngeres. Payudara pun butuh udara. Sehat tau!
Cerita kami nggak bertema sebenarnya. Apa saja bisa jadi topik pembicaraan kami. Mulai dari trending topic yang beredar di sosmed, sampai urusan cowok. Kezia masih sama Daniel, malahan dalam waktu dekat ini mereka mau lamaran. Senangnya. Amara pun lagi PDKT sama cowok yang dikenalnya di sosmed.
Aku dan Kezia sepemikiran. Kami langsung mewanti-wanti Amara perihal itu. Bukan satu dua kasus terjadi karena hubungan yang bermula dari sosmed. Banyak. Bahkan, sampai ada yang berujung maut. Aku nggak mau Amara mengalami hal buruk. Untungnya (lagi-lagi untung) Amara masih mau mendengar omonganku dan Kezia. Dia berdalih hanya berinteraksi melalui chat saja. Dia juga janji akan ngajak aku dan Kezia, atau salah satu dari kami, jika suatu saat nanti mau ketemuan sama orang itu.
Kami bercerita sambil terus melahap makanan yang tadi dibeli. Beberapa langsung masuk kulkas untuk persedian tengah malam dan untuk sarapan. Maklum anak kos, suka dengan kehangatan. Jadi yang bisa dihangatin, ya hangatin aja.