puzzle hati

14.6K 622 152
                                    

#Malam_Pertama
#2

Penulis : Aning Miftakhul Janah/Sona Sanjaya
Genre : Romanse

“Apa maksudmu, Mas? Jika ingin menceraikan Aku satu bulan lagi, lalu mengapa tadi mengucapkan ijab qabul?”

Mas wahyu diam membisu. Tak ada jawaban apalagi pandangan, hanya mematung menatap lantai penuh sendu menyisakan keheningan.

Aku semakin tak tahan dengan teka teka-teki ini mendesaknya dengan pertanyaan lagi karena setiap butuh kejelasan.

“Tolong jawab! jangan menyiksaku seperti ini. Mengapa ingin bercerai, Mas?”

Mas Wahyu masih bertahan dalam kebungkaman. Kebekuannya membuat isakku pecah, karena rasa kesal di hatiku membuncah.

“Karena Isyana. Sampai detik ini, aku masih mencintainya.” jawabnya angkuh tanpa menatapku sedikitpun.

Tampaknya senggukanku telah mengusik hati hingga kedua tanganya kembali menarik anak panah, melepaskan tepat di jantungku.

Pikiranku semakin kacau. Ternyata Isyana masih menjadi ratu yang bersemayam di hati. Kalimatnya menunjukkan pengakuan, Mas Wahyu tidak siap mengarungi bahtera rumah tangga ini.

“Lalu untuk apa pernikahan ini, Mas?” tanyaku pelan agar kami bisa bicara dari ke hati ke hati.

Sekali lagi bibirnya bungkam beberapa saat. Rahangnya mengeras, tatapan menajam. Dadanya naik turun menahan gejolak.

“Rumah dan kamar besar ini adalah impiannya. Bagaimana mungkin Aku bisa memasukkan wanita lain sedangkan kakinya belum pernah sekalipun menapak di sini?” nadanya meninggi, seolah memuntahkan gemuruh yang berkecamuk di dada.

Dentum kalimatnya membuat tubuhku menggeletar.

Kini giliranku yang terbungkam, merasakan hati yang porak-poranda. Air mataku kian tumpah.

“Tiga tahun sudah aku menunggunya, sebentar lagi Isyana pasti akan kembali.”

Bait kalimat demi kalimat itu menjadi ribuan panah Arjuna yang dilesatkan pada tubuh Bisma.

Kimi akulah Bisma, yang terbaring di atas  jajaran mata panah tajam menusuk tubuhku. Lunglai kurasakan, hingga bibir ini terasa Kelu untuk bertanya lebih dalam karena raga belum siap menerima apa lagi yang akan dihantamkan padaku.

Kamar pengantin ini tak lagi indah, tak lagi cerah. Bahkan kesejukan aroma kembang yang menawan hilang seketika. Sekarang ruangan  ini seperti petilasan.

Iya, petilasan Isyana Nareswari. Dialah ratu, yang tak nampak tapi namanya menggema di sudut ruang ini, menciptakan duri tajam yang harus kuinjak.

Seluruh tenaga terasa habis, aku hanya diam menyadarkan kepala dan sisi kiri tubuhku pada tiang ranjang. Merutuki riak-riak memilukan di awal pernikahan.

Suara ketukan pintu memecah keheningan. Terdengar Ibu mertua memanggil namaku.

“Hapus air matamu, Luh. Jangan sampai Ibuk tau masalah kita.” Perintahnya kaku.

Aku tak menjawab, tetapi langsung menyeka pipiku yang basah lalu beranjak membuka pintu.

Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahku yang sembab. Agar wanita yang sangat menyayangiku tidak tahu isak tangis yang telah tumpah.

“Luh, Ibuk buatkan jamu godokan suruh ijo. Diminum, ya. Bagus untuk penganten baru. Bisa menimbulkan aroma harum, kesat dan tentunya menambah kenikmatan.” Ucapnya dengan penuh senyum.

“Terimakasih, Buk.” Aku menerima secangkir ramuan dengan senyum dan menunduk.

Beliau mengamati wajahku lekat-lekat, netrananya mungkin sudah menangkap bekas pipi yang basah.

Daguku diangkat dengan pelan. “Kamu menangis? mengapa? ada masalah apa? cerita sama Ibuk ...,” gurat wajahnya menampilkan kecemasan.

“Boten enten masalah, Buk. Galuh cuma terharu, sekarang bukan gadis lagi, tetapi sudah menjadi istri.”
(Nggak ada masalah, Buk.)

Jawabku sekenanya agar ibuk tidak membrondongku dengan pertanyaan lagi.

Beliau tergelak beberapa saat. Kedua tangan merengkuh dan mengelus punggungku lalu berbisik, “kamu ko lucu seperti gadis jaman dulu, yang takut dengan malam pertama. Jangan gusar, Nduk ... Wahyu orangnya sabar. Ya sudah, Ibuk tidak mau menggangu penganten baru lebih lama lagi. Diminum, ya!”

Aku mengangguk dengan tersenyum untuk melegakan hatinya.

Beliau pun melangkah pergi, segera kututup pintu lalu meletakkan jamu itu diatas meja.

Kupandangi secangkir ramuan itu, terlihat harapan besar dari seorang Ibu. Tapi semua hanyalah semu karena Mas Wahyu tidak menginginkan malam hangat dalam desahan tetapi telah siap melemparku keluar. Bahkan menurutnya, aku tak pantas menghuni kamar pengantin ini.

Dia masih membatu. Entah apa yang dilihat mataku enggan memandang karena rasa kecewa masih menghujam.

Aku memang tidak mencintainya, tapi dihempaskan seperti ini membuat hatiku terdampar dalam nestapa.

Untuk apa pernikahan ini jika Mas Wahyu masih mengharapkan kehadiran istrinya. Untuk apa pernikahan ini jika dia tidak menginginkanku. Rasaku berada di sudut lelah.

Perlahan aku kembali menata perasaan. Tak akan kutanyakan alasan mengapa mempersuntingku ketika dirinya tidak siap menjalani pernikahan ini agar puzzle hatiku tidak semakin berserakan.

“Mas Wahyu sudah menjatuhkan talak satu padaku. Pulangkan aku besok pagi, Mas. Tak perlu menunggu satu bulan lagi. Setelah itu pergilah ... cari kebahagiaanmu.” Mohonku dengan pelan.

Bersambung.
Terimakasih kepada readers telah mengikuti cerita yang sederhana ini. Salam hangat dari author.

Tulis kesan kalian selain next, jejak dan lanjut agar author semangat membenahi tulisan. Haturnuhun...













Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Malam PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang