Dua

54 12 3
                                    

"Ay Gimana suami loe-..emm maksud gw suami loe itu, maaf gw salah bicara." Aku hanya mendengus malas melihat cengiran khas sahabatku ini, Athifa Khalisa Fadli. Aku tahu ia hanya ingin menyindirku.

"Ya...begitulah masih tetap sama." Jawabku malas.

"Dia masih dingin? Belum ada tanda-tanda dia sudah mencintai Loe? Ish... Dasar ya om om itu!!"

“Dia hanya lebih tua 5 tahun dari kita, udahlah Fa stop manggil dia Om - om ok."

Tifa hanya tersenyum pura-para manis padaku. Ish... menjijikan, dia fikir dia cantik senyum seperti itu. Ia terkadang menyebalkan tapi dialah sahabat terbaik yang aku miliki.

"Tapi kalian satu kamarkan?" Aku hanya mengangguk perlahan, malas berbicara. Toh walaupun kami satu kamar dan satu ranjang kami tidak melakukan apapun selain tidur, terkadang suasana begitu canggung dan membuatku nggak nyaman. Tidurpun kami saling memunggungi. Arsen entah kenapa dia ingin pindah ke rumahnya setelah dia menikah denganku dibandingkan tinggal dengan kedua orang tuaku seperti saat ia masih bersama kak Prita dulu. Dan yang lebih membingungkan lagi kenapa rumahnya itu hanya ada satu kamar? Jika alasan pindah rumah untuk menghindari kedua orang tuaku, mengapa hanya ada satu kamar? Bukankah ia nggak nyaman bersamaku?

"Sini.... loe udah melakukan ‘itu’ dengannya?" Bisik Tifa.


" Athifa Khalisa... !!" Aku memukul kepalanya dengan buku yang tadi terletak disebelahku. Ia langsung saja berteriak kesakitan membuat seisi kantin kampus kami ini menoleh kearah kami. Membuatku malu saja, anak ini memang ceplas-ceplos sekali.

"Ayra ini sakit tahu? Lagian gw kan hanya bertanya."

" Untuk apa loe nanya - nanya seperti itu, bukannya loe juga udah tau jawabannya apa!" Ucapku kesal, ia hanya tersenyum menggoda padaku.

Ping!

Tiba-tiba saja ponsel-ku bersuara, satu pesan masuk dari seseorang. Kuharap itu Mas Arsen yang menanyakanku sudah makan siang atau belum tapi ternyata bukan, aku kecewa sekali.

Bang Moussa : "Bidadari surga , kamu lagi apa ? Udah makan siang belum"

Ternyata bang Moussa yang mengirimkan pesan,  ia memang tidak berubah, selalu saja menggodaku. Aku pun membalas pesannya dengan cepat, mengatakan bahwa aku belum sama sekali makan siang. Dia akhirnya mengajakku makan siang bersama sambil mengutarakan kesediaannya untuk membantuku mengerjakan skripsi.

Aku memang sempat meminta bantuannya karena jurusan yang kami ambil sama. Ia hanya akan memberikan saran-saran yang pasti akan sangat berarti untukku mengerjakan skripsiku.

" Fa, gw pergi dulu ya."

"Loe mau kemana? Pulang?"

"Gw ada janji sama bang Moussa . See you tomorrow beb..."

" Ay gila lo ya...  Abang sepupu gw tu." Teriak Tifa.

***

"Rara ingin makan apa? Biar abang pesankan."

Aku tersenyum pada bang Moussa lalu menyebutkan makanan yang ingin ku pesan. Pria itu kemudian meminta pelayan restoran untuk mencatatnya. Setelah pelayan itu pergi bang Moussa kembali menatapku dengan senyuman khasnya.

"Kamu nggak pernah mengabari abang semenjak menikah? Kenapa ? Kamu takut suami kamu cemburu, iya?"

"Bukan begitu bang Ayra hanya sedikit sibuk."

"Sibuk apa? Apa suamimu yang membuatmu sibuk?"

Aku hanya tertawa mendengar godaannya.

Moussa Al Khawarismi adalah seniorku yang paling dekat denganku. Dia begitu baik dan penuh perhatian. Mungkin jika aku tidak jatuh cinta pada mas Arseno, aku pasti sudah jatuh cinta pada bang Moussa. Dia selalu ada untukku, melebihi suamiku sendiri.

Setelah pesanan datang, kami makan dengan diselingi canda dan tawa. Dia benar-benar membuat suasana yang baik, tak henti-hentinya membuat lelucon bahkan terkadang menggodaku. Aku menikmatinya, hal yang tak pernah aku dapatkan dari mas Arsen.

Sambil menyantap makananku, aku memandang kesekitar dan tak sengaja melihat sosok pria tinggi yang sudah kukenal sejak kecil.

Mas Arsen berada disini dengan beberapa rekan kerjanya. Dia tampak menikmati sekali acara makan siangnya itu, sesekali tersenyum bahkan tertawa. Yang paling membuatku sebal adalah kehadiran sekretarisnya yang centil, perempuan berambut hitam itu terus menempel pada mas Arsen. Aku heran mengapa Arsen bisa menjadikan dia sekretarisnya. Apa sebenarnya kelebihan perempuan genit itu? yang kulihat hanya buah dadanya saja yang besar.

Menyebalkan sekali. Dia makan begitu lahap tanpa memikirkanku sama sekali. Aku masih berharap dia akan mengirimiku pesan, menanyakan aku sudah makan atau belum, mengajakku makan siang bersama disela kesibukannya. Tapi itu semua justru aku dapatkan dari pria lain.

Entahlah, aku begitu merasakan perubahan sifat Arsen semenjak kak Prita meninggal. Dia tidak sehangat dulu, begitu dingin dan jarang bicara. Tak pernah mempedulikan hal disekitarnya. Seolah didunia ini hanya ada dia seorang.

Bahkan sikapnya yang selalu memanjakanku dulu saat masih kecil, sudah hilang tak berbekas. Dia seperti menjaga jarak dariku. Bicara seperlunya, bahkan terkadang menganggapku tak ada.

Kalau begitu mengapa ia menikahiku jika memperlakukanku seperti ini? aku memang mencintainya sejak dulu tapi melihatnya yang sekarang membuatku sadar bahwa dia tidak akan pernah membalas cintaku.

Aku mungkin hanya pelarian untuknya. Aku adalah adik mendiang istrinya dan mungkin ia berharap ada salah satu kesamaan yang dapat ia temukan dariku. Sayangnya aku berbeda sekali dengan kak Prita yang anggun dan feminim. Bahkan bicarapun suaranya terdengar lembut dan halus. Dia wanita keibuan, aku terkadang iri dengannya dan sekaligus tersadar bahwa wanita seperti dialah yang mas Arsen pantas cintai. Bukan aku.

💔💔💔💔

Bagai mana sejauh ini Masih setia kan menunggu kisah Ayra.. 
Jangan lupa comment Dan bintang nya ya...  Makasih...

Aku LelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang