Part 1

29.3K 318 5
                                    

Part 1

Ooeeekk .... oooeekkkk ....

Alhamdulillah ....

"Selamat, Bu. Bayinya perempuan, cantik sekali." Bu Ina tersenyum, dia seorang dukun bersalin dikampung yang membantu proses persalinanku.

Terlihat suamiku memasuki rumah untuk mengadzani buah hati kami.

Bu Ina selesai memandikan dan membedong lalu membersihkan darah yang keluar dari selakanganku.

Tidak ada proses penjahitan, karena ini adalah anak keduaku, dan juga usia ini sudah tidak lagi muda.

Beberapa jam kemudian, Bu Ina pamit pulang meninggalkan rumahku.

Sudah dua tahun kami menikah, namun baru kali ini Tuhan mempercayai kami untuk memiliki anak.

Sebelumnya memang aku sudah memiliki seorang anak dari hasil pernikahanku dengan suami terdahulu, namun kami bercerai karena ada sesuatu hal.

Suamiku pun seorang duda anak satu.
Anak ku hampir seumuran dengan anak bawaan dari suamiku saat kami menikah, kini lengkap sudah kebahagiaan kami.

Namaku Mirna, seorang janda beranak satu bernama Nisa yang usiaku tidak lagi muda. Aku bercerai dari suamiku karena suatu hal yang tidak mau ku ingat lagi. Sakit rasanya mengingat pertengkaran saat itu.

Nisa pun berhasil menjadi hak asuhku karena usianya masih dibawah umur yaitu sepuluh tahun.

Begitu pula suamiku yang sekarang, Mas Harno, dia adalah seorang duda beranak satu, anaknya bernama Ridwan berusia sebelas tahun.

Aku dan Mas Harno berteman sejak lama, namun getaran cinta baru terungkap saat kami sama-sama saling sendiri dan sudah memiliki seorang anak.

Kini, aku dan Mas Harno tengah bersuka cita menyambut kehadiran puteri kecil ditengah keluarga kami.

Kami berlima tinggal serumah, Ridwan dan Nisa pun kebetulan satu sekolah, jadi tidak sulit bagi kami mengantar jemput mereka disekolah.

Di dalam rumah kayu, beratapkan daun sirap, berlantaikan semen kasar ini kami saling memberikan kehangatan, tidak saling membedakan satu sama lain.

Mas Harno seorang pekerja ladang, menggarap sawah-sawah milik tetangga apabila memerlukan bantuannya, sesekali dia juga mencari rumput untuk pakan para sapi tetangga yang dititipkan kepada kami.

Sedikit demi sedikit hasilnya selalu kami syukuri dan nikmati.

🦋🦋🦋

"Pak, habis cari rumput nanti, antar aku sebentar ke rumah Bidan Aini, ya? Mau imunisasi Yanti."

"Ya."

Biasanya, Mas Harno pergi dulu mencari rumput-rumput gajah sebelum ke ladang.

Namun, kali ini Mas Harno tidak mendapatkan panggilan dari si empunya sawah untuk menggarapnya.

Bayi itu kami namakan Yanti. Tidak ada nama panjang, hanya Yanti saja. Begitu pula Ridwan dan Nisa, tidak ada nama panjangnya.

Maklum, kami tinggal di suatu kampung yang masih sangat kental kearifan lokal dengan segala mitos dan unsur klenik yang menyatu di setiap penghuni kampung Sabuhur.

Tapi untungnya di kampung ini sudah lengkap beberapa fasilitas umum, seperti bidan, pasar tradisional, sekolah TK hingga SMP dan keaktifan kampung dalam hal politik.

Pukul 09.20 pagi, biasanya Mas Harno sudah selesai mencari rumput, aku menggendong Yanti yang sudah cantik dengan pita di kepalanya bersiap untuk di suntik imunisasi.

HUBUNGAN TERLARANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang