Part 2

20.2K 284 13
                                    

Usiaku yang kini hampir kepala lima, namun nafsu seks ku semakin menjadi-jadi.

Apalagi melihat kondisi Mas Harno yang sudah tidak memungkinkan untuk memberiku 'nafkah' lagi.

Semakin hari kondisi Mas Harno kian menurun. Batuk yang dideritanya semakin perih di dengar.

Upah Ridwan mencari rumput untuk pakan sapi tidaklah cukup untuk membeli obat pada Dokter. Belum lagi untuk keperluan dapur, kebutuhan Yanti dan juga Nisa.

"Capek, Bu?" Ujar Ridwan ketika melihatku memijat-mijat persendian di kaki sambil duduk di dipan rotan depan teras rumah.

"Eh. Enggak, cuma sedikit pegal saja. Kamu sudah makan?"

"Sudah, Bu. Sini aku pijitin." Ridwan duduk di sampingku, langsung memegang dan memijat kaki ku.

Ada rasa yang bergejolak saat Ridwan menyentuh kaki ku, getaran yang sudah cukup lama tidak kurasakan.

Detak jantungku berdegup tak karuan, nafasku tak beraturan. Darahku berdesir.

Pertanda apakah ini?

"Bu, nanti kalau sudah lulus, aku gak mau lanjut sekolah lagi. Aku mau bantu Ibu dan Nisa saja."

Deg!

"Kok gitu?" Aku menatap wajah anak tiriku.

"Iya, aku gak mau merepotkan Ibu. Apalagi Bapak masih sakit." Dia tertunduk. Ada raut pengharapan dan kekecewaan terpancar.

"Ibu paham, Wan. Terserah kamu saja."
Aku memeluk tubuh Ridwan.

Lagi-lagi jantungku berdegup kencang, mungkin terdengar di telinga Ridwan saat kepalanya menyentuh dadaku.

Ridwan melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.

Aku semakin tak karuan.

Segera aku lepaskan pelukan itu, takut kalau-kalau aku semakin terlena dengan pelukan Ridwan.

***

Pagi itu, saat dimana Ridwan menerima raport kelulusan sekolahnya.

Ada rasa bangga dan juga sedih saat tahu dia sudah membulatkan tekad untuk tidak meneruskan ke SMA.

Ridwan yang terlihat gembira saat berbagi tanda tangan sebagai kenang-kenangan bersama temannya.

Aku dan Yanti yang menghadiri pesta kelulusan Ridwan disekolah, banyak orangtua siswa lain bertanya padaku tentang Ridwan akan meneruskan sekolah dimana, ku jawab dia akan bekerja saja, membantu Bapaknya di ladang.

Meskipun malu, tetapi aku harus menerima kenyataan bahwa Ridwan memang tidak mau meneruskan sekolah lagi.

***

Praaanggg ....

"Astagfirullah, Pak!"
Aku terkejut saat mendengar gelas terjatuh dari atas laci kecil dikamar, dimana Mas Harno berbaring setiap hari.
Aku berlari menuju kamar.

Ku lihat pecahan gelas sudah berhamburan di lantai.

"Ya Allah, Pak!"

Mulut Mas Harno mengeluarkan darah segar sambil terbatuk-batuk.

"Tolooong... tolooongg... Ridwan, Nisa cepat kesini!" Teriakku dari dalam kamar sambil memangku kepala Mas Harno.

"Ya Allah, Bapak!" Ridwan dan Nisa menyingkap tirai pintu dan langsung berhambur menuju kearahku.

"Cepat minta tolong Pak Diro buat antar Bapak ke rumah sakit."

"B-baik, Bu."

Ridwan dengan cepat berlari menuju rumah Pak Diro tetangga kami yang memiliki mobil untuk dimintai tolong mengantar Mas Harno ke rumah sakit.

Nisa menangis di kaki Mas Harno. Aku pun demikian, sesekali menyeka darah segar yang keluar dari mulut Mas Harno dengan baju dasterku.

"Kamu jaga Yanti saja dirumah ya, Nduk. Ibu sama Mas Ridwan ke rumah sakit." Pintaku pada Nisa.

Nisa mengangguk.

Tak lama, Pak Diro dan Ridwan datang.
Mereka berdua membopong tubuh Mas Harno yang kurus kering itu masuk ke dalam mobil.

Aku membuntuti dibelakang, tidak sempat mengganti baju dasterku yang penuh dengan darah.

Mobil pun melaju ke rumah sakit.
Ridwan yang sedari tadi menangis, aku pun semakin tersayat-sayat.

Sesekali Mas Harno memuntahkan darah segar dari mulutnya sambil terbatuk.

Perjalanan menelan waktu satu jam, sesampainya di rumah sakit, beberapa orang perawat langsung mendorong kasur pasien ke arah mobil dan membaringkan Mas Harno.

Aku dan Ridwan juga Pak Diro menunggu di luar ruang IGD rumah sakit.

Aku masih terisak, Ridwan menangis sambil menghadap ke tembok ruang depan IGD.

Setengah jam berlalu, seorang perawat keluar dari ruang IGD.

"Keluarga Pak Harno?" Ucap wanita berbaju putih itu.

"I-iya kami, Mbak." Kataku.

"Bu, maaf. Kami sudah berusaha, namun pendarahan yang terjadi sama Bapak memang sangat kritis. Pak Harno sudah tiada."

Aku meraung, tak terasa lututku menjadi lemas hingga jatuh pingsan.

Ridwan tak kalah menangisnya, dia berteriak-teriak seakan tidak percaya.

***

Bendera hijau bertuliskan 'Innalillahi Wa Innailaihi Raji'un' berkibar didepan rumahku.

Jenazah Mas Harno sudah selesai di mandikan dan di sholatkan.
Aku masih menangis dan memeluk Yanti serta Nisa.

Di seberang aku duduk, terlihat Ridwan terisak yang seolah-olah tegar menghadap jenazah Bapaknya.

Para tetangga datang silih berganti untuk melayat dan membacakan Yassin.

Kami semua menunggu sampai liang kubur Mas Harno selesai di gali.

Kepada siapa lagi aku berkeluh kesah?
Mas Harno meninggalkanku dengan tiiga orang anak yang mana semua adalah tanggung jawabku.

***

Tiga bulan pasca meninggalnya Mas Harno, aku mulai menata kehidupan kembali. Bersama ketiga orang anak, aku resmi bergelar seorang janda, lagi.

Hari demi hari ku lewati, masih dengan rasa kesepian dan butuh seorang penenang di sampingku.

Ridwan yang selalu memberiku perhatian, membuatku semakin dekat dengannya.

Apalagi akhir-akhir ini Nisa lebih akrab dengan sepupunya, bisa-bisa dia tidak pulang kerumah karena keasyikan menginap di rumah sepupunya.

Di rumah hanya ada aku, Ridwan dan Yanti.

Bila pagi tiba, Ridwan mencari rumput dengan sepeda motor peninggalan Mas Harno.

Aku menyiapkan makanan dirumah sambil mengurus Yanti.

Sesekali demi membunuh rasa sepi, aku berkunjung ke rumah tetangga untuk sekedar mengobrol dan berbelanja di warung.

Sore itu, Ridwan selesai mencari rumput, dia bergegas mandi sekedar untuk menyegarkan badannya.

Selesai mandi, ia memakai handuk yang di lilitkan di pinggangnya menutupi area sensitifnya.

Hatiku berdebar melihat pemandangan itu.
Rambutnya yang masih basah dengan beberapa tetesan air yang membasahi wajahnya.

Kaki jangkungnya yang berhiaskan bulu-bulu pendek, serta dadanya yang lumayan bidang, membuat pikiranku melayang.

Bayang-bayang aneh pun melintas di mataku.

Ada apakah ini?

Bersambung...

(Ini kisah nyata, ya.)

HUBUNGAN TERLARANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang