"Mbak Kila,"
Kila menghentikan aktivitasnya begitu terdengar suara Naila menggema di sudut kamarnya. Kila menoleh dengan tatapan bertanya.
"Mbak Kila yakin mau berangkat sekarang?" tanya Adiknya yang bernama Naila.
Kila dan Naila berselisih cukup jauh, Sebelas tahun. Saat Usia Kila 11 Tahun, Ibunya tak tahu jika beliau tengah mengandung Naila. Karena saat itu usia ibunya sudah terbilang paruh baya, mereka pun tak menyangka jika Ibunya akan mengandung lagi. Namun Kila bersyukur karena Allah telah memberikan adik yang begitu menyayanginya.
Kila memiliki dua orang kakak yang sudah menikah. Kakak pertamanya laki-laki, namanya Zain, saat ini Zain tinggal di Sumatera bersama dengan istri dan kedua anaknya. Sedangkan kakaknya yang kedua, bernama Hanum, yang saat ini tinggal di Jakarta ikut sang suami.
Kila di rumah hanya bersama Naila dan kedua orang tuanya, namun sepertinya Kila akan meninggalkan keluarnya tersebut. Karena sebentar lagi libur semester telah berakhir dan Kila harus kembali ke Bandung untuk melanjutkan kuliahnya. Ya, saat ini Kila tengah kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Bandung. Dengan mengambil jurusan Farmasi.
Entah angin apa yang membisikannya sehingga ia mengambil jurusan tersebut. Padahal sedari kecil ia ingin sekali mengambil jurusan Sastra.
"Mbak, di tanyain juga," ucap Naila membuat Kila kembali tersadar dari lamunannya.
"Ah, iya dek. Mbak harus pulang sekarang."
Naila mengerucutkan bibirnya, "Kenapa gak besok aja sih Mbak? Padahal aku masih kepengin main-main sama Mbak Kila."
Kila tersenyum, sedih baginya harus meninggalkan adik kesayangannya ini. "Mbak juga masih kepengin main-main sama kamu, tapi lusa Mbak harus mulai kuliah. Kalau Mbak gak kuliah, kasihan Ibu sama Bapak yang udah capek-capek cari uang buat nguliahin Mbak dan nyekolahin kamu."
Naila terdiam, ada raut sedih di wajahnya. Ah, Kila menjadi tak tega. Ia pun menarik Naila ke dalam pelukannya. Seketika tangis Naila pun pecah.
"Mbak, hiks, aku tuh nungguin Mbak Kila lama hiks. Sekarang begitu Mbak Kila udah di rumah, hiks, malah pergi lagi, hiks," ucapnya sambil terisak.
Kila semakin tak tega. "Dek, ini udah resiko yang Mbak Kila ambil. Mau gak mau Mbak harus jalanin. Dan juga kamu, kamu harus bisa jauh dari Mbak. Lagipula Yogyakarta ke Bandung gak begitu jauh. Kamu bisa main-main kesana."
"Tapi sama siapa Mbak? Bapak sama Ibu aja selalu sibuk."
Kila terdiam dan tersenyum, benar yang dikatakan Naila, "Ya sudah, kamu jangan sedih ya. Lagipula nanti setiap libur semester Mbak pasti pulang kok. Kamu sekolah yang bener, jangan bikin Bapak sama Ibu marah ya."
Naila melepas pelukannya dan mencium pipi Kila. Lalu melangkah pergi meninggalkan kamar Kila. Rasa sedih kembali menyeruak di hati Kila karena harus kembali meninggalkan orang-orang yang begitu ia sayangi.
Setelah selesai membereskan apa saja yang akan dibawa ke Bandung, Kila berjalan menuju ruang makan dimana sudah ada Naila dan kedua orang tuanya.
"Kila, makan dulu. Ibu sudah buatkan bubur kacang ijo kesukaanmu," ucap Ibunya yang bernama Maira dengan senyum hangat.
Ah, Kila merasa sedih harus meninggalkan mereka.
Kila mengambil semangkuk bubur dari tangan Maira. Dan mengambil sendok lalu memasukan ke dalam mulutnya.
"Bu, enak sekali."
Maira tersenyum, "Alhamdulillah kalau kamu suka. Ini Ibu udah siapin buat kamu kalau lapar di jalan."
"Kila, nanti Bapak sama Ibu antar kamu sampai stasiun ya?" ucap Bapaknya yang bernama Rahman.
"Memang Bapak sama Ibu gak kerja hari ini?"
"Enggak, La. Bapak sama Ibu sengaja cuti supaya bisa mengantarkan kamu. Ya kan Bu?"
Maira mengangguki ucapan Rahma, "Iya nak, Ibu , Bapak sama Naila mau ikut mengantarkanmu. Ya walaupun cuma sampai stasiun."
Kila tersenyum terharu, "Ya ampun Pak, Bu, makasih banyak ya."
"Iya La."
"Mbak, ini buat Mbak Kila. Tapi bukanya nanti ya waktu udah sampai Bandung. Biar kejutan, hehe," Naila memberikannya sebuah kotak.
Kila meraih kotak itu dari tangan Naila, "Ya ampun dek, kamu ini pakai kejutan-kejutan segala. Yaudah, nanti begitu Mbak Kila sampai Bandung langsung Mbak buka."
Naila mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan Kila. Tiba-tiba Naila teringat sesuatu, "Oh ya Mbak, sekolahku mau ngadain lomba baca puisi tau."
"Kamu ikutan dek?" tanya Kila.
Naila mengangguk, "Iya mbak, aku pengin ikutan. Tapi kalau kalah gimana Mbak?"
"Ya kalah menang itu biasa Nai. Kalau dari awal kamu takut kalah gimana kamu mau mencoba. Yang penting usaha aja dulu, urusan menang kalahnya kamu serahin sama Allah," kini Maira yang bicara.
Kila menggangguki ucapan Ibunya tersebut, "Iya dek, bener kata Ibu. kamu usaha aja dulu. Jangan lupa berdoa. Karena semua itu ada campur tangan Allah. Kamu minta sama Allah supaya diberikan yang terbaik. Insya Allah jika kamu sungguh-sungguh, semua pasti akan berjalan seperti apa yang kamu inginkan.
"Tapi Ibu sama Bapak sama Mbak Naila gak kecewa 'kan kalau nanti Naila kalah?" Naila menundukan kepalanya.
Mendengar ucapan sang bungsu, kedua orang tua dan kakaknya pun tertawa. "Ya namanya juga perlombaan, pasti ada yang kalah dan menang," ucap sang Ayah.
Naila memamerkan deretan gigi putihnya membuat senyum Kila mengembang dan kembali meraih sesendok bubur dari dalam mangkuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syakila
RomanceMenurut Kahlil Gibran, cinta adalah satu-satunya kebebesan di dunia karena cinta itu membangkitkan semangat hukum-hukum kemanusiaan dan gejala-gejala alami pun tak bisa mengubah perjalanannya. Cinta ibarat seekor burung yang cantik, meminta untuk di...