PROLOG

95 10 9
                                    

Berastagi, 2025

Suara hujan mengiringi derap langkah kakiku masuk ke sebuah ruangan yang sudah lama tak kukunjungi. Mataku menelusuri setiap inci tempat ini. Tak banyak yangberubah, masih sama seperti terakhir kali aku berada di sini. Hanya saja, ada beberapa barang yang rusak karena termakan usia dan debu tebal yang mengganggu indera penciumanku. Tidak luas, didominasi warna putih ditambah aksen merah jambu menambah nuansa nyaman tempat ini. Beberapa lukisan yang mulai usang juga masih tertata rapi di sini. Tak lupa, meja kayu yang langsung menghadap jendela tanpa jerejak, yang dulu menjadi tempat pavoritku. Dari sana dapat dilihat pemandangan kota dan kelap-kelip lampu bila malam tiba.

Di sisi kanan jendela tampak dua buah lukisan dengan kain putih sebagai penutupnya. Sengaja kututup takut jika lukisan itu terkena debu atau apapun yang dapat merusaknya. Aku mendekat, pelan-pelan kubuka lukisan itu dari kain penutupnya. Dan benar saja, kini kedua lukisan itu masih tetap terjaga. Indah seperti dua orang yang menjadi objek lukisanku. Masih bagus, tanpa lecet sedikitpun. Catnya juga masih seperti baru. Baru ingat, kedua lukisan itu adalah lukisan terakhirku sebelum pindah ke Jakarta dan aku terpaksa mengubur dalam-dalam mimpiku karena alasan yang akan kujelaskan nanti, di bagian lain dari cerita ini.

Aku menghela napas panjang lalu menutup kembali lukisan itu dan melangkah pergi mendekati jendela. Aku memilih menetap sejenak, kubuka jendela geser ala-ala Jepang yang memang sengaja kupinta pada Ayah dulu. Saat itu, aku terinspirasi dari jendela kamar Nobita di serial Doraemon. Kemudian, kuhirup dalam-dalam udara segar yang tak bisa kujumpai di Jakarta. Sesekali mengingat kisahku di tempat ini, tempat yang menjadi bagian kesukaanku di rumah. Dulu, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pindah dan melanjutkan pendidikanku ke Jakarta. Aku merindukan suasana ini. Rindu gemercik hujan yang menambah syahdu hariku setiap kali menuangkan rasa lewat kuas ataupun pena di atas kertas.

Dulu, aku senang menghabiskan waktuku untuk melukis di sini . Aku suka melukis. Melukis apa saja yang aku sukai, melukis apa saja yang ingin aku lukis. Di dekat jendela, ada juga beberapa kertas bertuliskan puisi yang kutempel di dinding ruangan ini. Sayangnya, tulisan di kertas itu tak lagi nampak. Maklumlah itu tulisanku beberapa tahun yang lalu. Kertasnya saja sudah lapuk. Iya, selain bermain warna aku juga juga suka bermain kata, meski orang bilang hanya aku yang mengerti artinya.

"Bintang, kemari sebentar nak! Ada yang mencarimu!" Ibu berteriak memanggilku. O iya, kenalkan namaku Bintang, Bintang Arundati. Aku tak tahu persis arti dari namaku, sebab orang tuaku tak pernah memberi tahu dan aku sendiri tak pernah menanyakan soal itu. Tapi, baru-baru ini aku mencoba untuk mencari tahu arti namaku lewat internet. Berhubung aku hanya penasaran dengan arti dari kata Arundati, maka aku lebih memilih mencari arti dari kata itu yang artinya Angkasa. Jadi, kalian sudah tahukan bahwa arti namaku adalah Bintang di Angkasa. Inginku sih bukan hanya di angkasa tapi juga bintang di hati Ayah dan Ibu.

Tadinya, aku berniat untuk pergi meninggalkan ruangan ini lalu menemui ibu. Tiba-tiba, mataku tertuju pada sebuah laci meja kayu yang berada tepat di depanku. Rasa penasaran mengajakku untuk membuka laci itu. Tidak ada apapun di dalamnya, hanya beberapa cat lukis yang sudah mengering dan,

"buku?" Sebuah buku yang mungkin tak sengaja ditinggalkan pemiliknya. Buku catatan kecil berwarna merah muda. Cukup tebal dengan gambar bintang di bagian tengah sampulnya. Akhh, kukira semua barang sudah kubawa ke Jakarta kecuali beberapa lukisan yang memang sengaja kutinggalkan, karena ukurannya yang besar tentu akan merepotkan. Ternyata, masih ada barang lain yang tertinggal, bahkan hampir lupa kalau pernah memilikinya. Iya, sekarang aku ingat buku ini adalah pemilik dari segala cerita yang menjadi kenanganku sejak beberapa tahun lalu. Buku yang tiap lembarnya mewakili rasaku.
Aku memejamkan mata sejenak untuk kemudian membuka buku itu. Tanganku gemetar bahkan untuk membuka lembar pertamanya. Sempurna, sekarang halaman pertama sudah terbuka dan yang ada hanya tulisan namaku dengan ukiran yang memperindahnya. Tanganku terulur untuk membuka lembar selanjutnya. Degup jantungku semakin terpompa ketika kubaca kalimat pertama pada halaman kedua buku ini. Di sana tertulis nama tempat dan tahun ditulisnya cerita. "Berastagi, 2013."

Hai hai hai,

ini adalah cerita yang pernah kujanjikan di salah satu bagian di RaPoetry. Semoga kalian suka yaa...

jangan lupa tinggalin jejak berupa vote dan comment yaa

terima kasih dan tunggu terus kelanjutan ceritaku

SEE YOU

Catatan Tentang LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang