Ternyata buku ini menyimpan kisah hidupku 12 tahun yang lalu. Aku bahkan sudah lupa kisah apa yang kualami saat itu. Tetapi, tulisanku masih ada. Mungkin ada beberapa kejadian yang tak bisa kita rekam diingatan, tapi bisa kita rekam lewat tulisan. Begitulah kira-kira pentingnya menulis dan bermain dengan kata. Sederhananya, ya menulis setiap kisah hidup kita lewat cerita. Karena, jika suatu hari kita tiada, tulisan kita tetap ada. Sama seperti cerita sejarah yang sengaja ditulis agar suatu hari dapat diingat, dikenang, lalu dijadikan sebuah pelajaran.
"Bintang!" Baru saja ingin meneruskan bacaanku, ibu kembali memanggil dan membuatku buru-buru menutup buku itu lalu memasukkannya ke dalam tas. Astaga, gara-gara buku itu aku sampai lupa untuk menemui ibu. Aku mempercepat langkahku agar segera sampai di ruang tamu. Langkahku tercekat saat seseorang tiba-tiba berhamburan memelukku. Aku sampai kaget dibuatnya.
"Aaaa...Bintang, apa kabarmu? Akhirnya kita bertemu lagi ya." Perempuan yang postur tubuhnya lebih tinggi dariku itu memelukku erat.
"Aku baik. Bagaimana denganmu, Zel?" Aku menarik tubuhku darinya lantas menggenggam tangannya. Enam tahun bukan waktu yang singkat, tapi bukan berarti aku lupa pada seorang temanku yang tahi lalatnya masih sama. Zeline, aku yakin siapapun yang pernah bertemu dengannya tentu ingat tahi lalat yang tersebar di beberapa bagian wajahnya. Dua di bawah mata, satu di atas bibir kanan, dan satunya lagi berukuran agak besar di samping kiri hidungnya. Senyumku tak henti mengembang saat waktu memberi temu antara kami yang sedang merindu. Aku agak kaget saat tiba-tiba ia datang menemuiku tanpa memberi kabar lebih dulu. Dari mana dia tahu kalau aku sedang berada di Berastagi? Aku mengajak Zeline duduk di kursi kayu ruang tamu yang usianya sama sepertiku. Dibeli Ayah setelah dua hari kelahiranku. Untuk beberapa saat terjadi keheningan diantara kami. Masih sama-sama hanyut dengan rasa yang bahkan sulit diungkapkan dengan kata. Intinya bahagia. Sampai akhirnya dia membuka suara.
"Aku baik, Bin. Senang rasanya kembali bertemu denganmu." Matanya berbinar saat mengatakan itu.
"Aku juga. Ngomong-ngomong, siapa yang memberitahumu kalau aku sedang berada di sini?" Aku memperbaiki posisi dudukku.
"Dari Ayahmu, Bin. Kemarin, aku tak sengaja bertemu dengannya. Ayahmu bilang, kalau hari ini kamu pulang ke Berastagi."
"Oh." Jawabku sambil menganggukkan kepala.
Sepanjang hari itu aku habiskan untuk berbagi cerita dengan Zeline setelah enam tahun lamanya. Banyak hal yang kami ceritakan. Mulai dari pengalaman saat kuliah, sampai mengenang kembali kisah kami saat SMA dulu. Aku jadi ingat ia dan tiga orang temanku yang lain kerap meledekku pelit. Tidak salah, dulu aku memang tidak seperti empat temanku yang senang membelanjakan uangnya untuk sekedar membeli barang atau makanan. Aku lebih memilih untuk menabungkan uangku agar bisa dipakai jika suatu hari kubutuhkan. Selain itu, biar bisa kupakai jalan-jalan suatu hari nanti. Mencari pengalaman. Karena aku tahu, ada yang lebih berharga dari sekedar membeli barang dengan uang, yaitu pengalaman.
Hujan sudah reda menyisakan jalanan basah dan beberapa kubangan air yang masih tergenang. Zeline memutuskan untuk pulang setelah puas bercengkrama melepas rindu hari ini. Dia berpamitan pada Ibuku, Ayah sedang berada di luar jadi tak sempat bertemu dengannya. Setelah itu, aku mengantarnya sampai keluar rumah sebelum akhirnya punggungnya menghilang tenggelam di ujung jalan. Ah, hari ini terlalu singkat padahal aku ingin bersamanya lebih lama. Setelah mengantar Zeline, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Sesampainya di kamar, aku langsung menuju ruang biasa tempatku melukis lalu duduk di depan jendela kayu geser, yang tampak beberapa bangunan kota berjejer bagai tangga. Ada pula pohon cemara yang bergoyang diterpa angin yang hanya terlihat bagian ujungnya. Aku mengambil tas yang tadi kuletakkan di atas meja, lalu mengeluarkan isinya. Sebuah buku yang baru kubaca halaman pertamanya. Aku menghela napas sejenak sebelum melanjutkan bacaanku yang tadi sempat tertunda karena kedatangan Zeline. Sekarang, halaman kedua dari catatan lusuhku sudah terbuka menampakkan deretan kata yang hampir buram tapi untung masih bisa kubaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Tentang Langit
Teen FictionHai, Bagaimana kabarmu ketika membaca tulisan ini? Kuharap baik-baik saja, ya. Butuh banyak keberanian ketika aku menulis ini. Tulisan biasa yang bisa saja kau campakkan sebelum membacanya. Tapi jangan, bacalah dulu karena ada yang ingin kuberitahu...