B

15.7K 1.1K 213
                                    

"Heh, kau di sini karena beasiswa itu, kan? Bukan murni kau terlahir kaya seperti kami?"

Ryuu menolehkan kepala. Menatap salah satu anak yang menjadi senior tempatnya bersekolah tengah memicingkan mata dengan tajam dan berkacak pinggang ke arahnya. Dan dua teman lainnya—yang pantas dia sebut sebagai dayang-dayang ikut berkacak pinggang, melotot benci ke arahnya.

"Beasiswa bukan suatu kejahatan."

Jawaban Ryuu membuat mereka naik pitam. Mereka yang mengikrarkan diri sebagai petinggi tempat sekolah mereka berada melotot marah karena Ryuu, anak miskin yang tidak tahu diri itu malah menatapnya jengkel terang-terangan.

"Apa yang bisa dibanggakan dari anak yang bahkan sejak kecil tidak memiliki keluarga utuh? Kau hanya tinggal bersama ibumu. Dan kau tidak memiliki ayah. Apakah ayahmu pergi karena tidak sanggup menopang ekonomi kalian?"

Ryuu terdiam. Dia menatap mata abu-abu yang berpendar penuh kemenangan itu dengan pandangan menilai. Dia menghela napas. Merasakan perasaan yang tersentil karena ucapan anak itu berhasil merenggut salah satu hati polos miliknya. Dia menunduk, membuang muka dan hendak berjalan pergi saat salah satunya, mendorong punggung Ryuu hingga terjatuh ke atas permukaan lantai yang keras.

Mereka berbeda usia. Senior itu berusia sepuluh tahun. Sedangkan dia baru berusia delapan tahun. Ryuu harus kuat menghadapi segala cobaan karena dia mendapatkan fasilitas di sekolah ini cuma-cuma.

Suara tawa menggema di sepanjang lorong yang sedikit ramai. Ryuu mendesis pelan. Mencoba bangun saat hantaman akibat sepatu itu mendarat di punggungnya. Membuatnya kembali tengkurap menahan sakit karena kedua lututnya berdarah dan telapak tangannya terasa perih.

"Tinggal menunggu waktu sampai dia dikeluarkan dari sekolah ini. Sekolah ini terlalu tinggi untuk dia yang rendah." Mereka tertawa keras, meninggalkan Ryuu tanpa perasaan di atas lantai. Dan seakan tidak cukup sampai di sana saja, tatapan mencemooh dari anak-anak lain yang memang terlahir dari keluarga sempurna dan kaya ikut menatapnya sinis.

Menganggap Ryuu adalah wabah di sekolah mereka. Dan berharap bahwa dirinya tidak akan melanjutkan pendidikan di sekolah mereka yang terkenal bagus dengan bibit unggul yang mumpuni. Tidak tercemari oleh kehadiran Haruno Ryuu yang menyedihkan.

***

Sakura menoleh ke lantai atas rumah mungilnya. Lantai dua hanya ada kamarnya dan kamar Ryuu, putra semata wayangnya. Dan kamar mandi terletak di lantai dasar. Di samping dapur.

Keningnya berkerut memikirkan putranya sama sekali belum turun sejak dia pamit untuk tidur siang dan langsung mengurung diri di dalam kamar. Sakura mulai cemas. Dia melipat celemek, mematikan kompor saat supnya sudah mendidih dan perlahan menaiki anak tangga kayu berjumlah sepuluh buah untuk mengetuk pintu kamar sang anak.

"Ryuu? Kau di dalam?" Sakura mengernyitkan kening mendengar tidak ada suara dari dalam. "Ini sudah hampir makan malam. Kau belum membersihkan diri. Kau tak apa?"

Sakura mulai bernapas berat. Dia sangat khawatir. Terlebih putranya tidak pernah membuatnya sebingung ini. Sakura mendesah pendek, membuka gagang pintu yang tidak terkunci dan tatapan matanya langsung terarah pada sosok sang anak yang duduk, membelakanginya dengan krayon di tangan dan tengah mewarnai.

"Ryuu?" Sakura berjalan mendekat. Menyalakan lampu kamar karena putranya hanya menyalakan lampu tidur di atas nakas. Membuat kamarnya redup. "Ibu sudah katakan, kan? Jangan mewarnai atau membaca di tengah gelap. Matamu bisa sakit."

Ryuu menoleh. Tersenyum tipis pada sang ibu ketika Sakura berlutut di sampingnya, mensejajarkan wajah mereka dan dia tersenyum, memandang semua gambar yang Ryuu goreskan dari tangan kecilnya dengan perpaduan warna yang sempurna. Bakat alami sejak putranya kecil benar-benar membuatnya bangga sebagai seorang ibu.

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang