"Sakura, dari sepuluh roti yang kau taruh, yang terjual hanya tiga." Penjual toko itu menghampiri Sakura sembari membawa keranjang berisi kue-kue yang Sakura titipkan dan diambil setelah sore tiba.
Sakura mengangguk dengan senyum. "Tiga sudah cukup. Tidak apa." Sakura menerima roti yang tersisa bersama uang dalam bentuk koin yang diberikan ibu penjual toko yang biasa dia titipkan. Biasanya, roti-roti buatannya akan laku habis terjual. Bisa memenuhi kebutuhan hidup dia dan Ryuu. Sekarang? Sepertinya dia harus bekerja lagi agar mendapat uang yang sedikit lebih banyak.
"Terima kasih."
Sakura mengayuh sepeda mungilnya. Dia berjalan menyusuri satu toko demi toko untuk bertanya tentang rotinya. Dan semua hasilnya sama. Dia bahkan menerima keranjang utuh tanpa laku satu pun roti miliknya.
"Sepertinya pembeli sudah mulai bosan," ucap salah satunya. "Apalagi, ada roti baru yang lebih murah di daerah sini. Tempatnya bagus dan nyaman. Kalau kau punya uang lebih, kau sebaiknya membuat toko rotimu sendiri berbentuk kedai kecil. Itu lebih baik."
Setelah mengatakannya, pria paruh baya itu masuk kembali ke dalam tokonya. Tanpa memedulikan Sakura yang termenung. Menatap beberapa lembar uang di telapak tangannya dan terdiam.
"Terima kasih!"
Sakura sedikit berteriak, kembali mengayuh sepedanya. Dia pergi dari rumah sejak siang. Sebelum Ryuu pulang, dia sudah menyiapkan makan siang untuk putranya. Dia tidak bisa meninggalkan Ryuu dalam keadaan lapar. Putranya bisa saja jatuh sakit karena menahan rasa lapar dan kelelahan.
Setelah sampai di tempat yang cukup sepi, Sakura menyandarkan sepedanya pada tembok di pinggir jalan. Duduk di tepi trotoar ketika dia membuka kue-kuenya yang masih tersisa banyak, dan menghitungnya. Helaan napasnya terdengar berat.
Dari lima puluh kue yang dia buat, hanya sepuluh yang laku terjual. Sakura memeluk keranjang kuenya, keinginan menangis itu ada. Karena setiap hari, pemasukannya berkurang. Setiap pagi, setelah Ryuu berangkat sekolah, Sakura akan berkeliling untuk mengantar koran atau susu kedelai di rumah-rumah yang memesan. Penghasilannya lumayan, walau dia lelah. Dia berusaha untuk bertahan demi putranya.
Sakura mendengar suara gemuruh sedikit tajam. Dia mendongak, mendapati belahan langit sudah sepenuhnya gelap dan dia tersentak. Dia tidak memiliki jas hujan. Dia harus pulang sebelum Ryuu mencemaskannya dan sendirian di dalam rumah jika badai datang.
***
"Ibu!"
Lelah yang menggumpal di pundak Sakura seketika meluruh jatuh mendengar suara pekikan senang dari sosok lain yang menyebrang ruangan demi menyambutnya ceria.
Sakura menunduk, tersenyum pada Ryuu saat kedua matanya melebar menemukan luka-luka di wajah anaknya. "Ya Tuhan, siapa yang lakukan ini padamu ..."
Ryuu mundur dengan gelengan kepala pada Sakura. Anak laki-laki itu hanya tersenyum tipis. Dia menarik Sakura untuk duduk, mendapati wajah sang ibu yang lelah dan kemudian suara guntur terdengar keras.
"Ibu, aku khawatir. Tapi, ibu sudah pulang."
Sakura menggelengkan kepala. Menarik Ryuu untuk duduk di pangkuannya. "Katakan, siapa yang lakukan ini."
Ryuu terdiam. Bibir kecilnya bergetar saat dia bicara. "Timku kalah dalam pertandingan sepakbola," Ryuu menggeleng pada Sakura. "Tapi, semua salahku. Aku salah mengoper bola hingga kesempatan pada lawan semakin besar."
"Sayang, itu semua bukan salahmu." Sakura memeluk putranya. Menahan air mata karena melihat bilur-bilur itu membuat hatinya sebagai seorang ibu teriris pedih. "Setahu ibu, Ryuu sangat hebat bermain bola. Paman Gaara pernah bilang, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN
FanfictionSemua berlalu begitu saja. Perpisahan yang menyakitkan harus terjadi. Membuatnya pergi demi mengasingkan diri, jauh untuk mencari penghidupan layak. Dia ... bersama putra kebangaannya. Tanpa ada sosoknya lagi.