Ibu bilang, aku lahir di tengah kelam malam. Hujan deras kala itu. Petir bergemuruh, kilat menyambar daratan berpasir yang telah basah. Anjing Bu Dermi melolong panjang, entah mengapa. Yang pasti tidak ada maling saat itu. Tidak juga hantu, menurut Mas Catur yang terkenal ke-indigo-annya di kampung. Oh, ya, ayam Pak Jumali dan ayam Pak Kasim yang sering diadu pun berkokok bersahutan. Entah apa yang mereka perbincangkan. Perdebatan, mungkin? Sayangnya mereka disembelih dan dijadikan opor lebaran saat usiaku lima atau enam tahun. Yang pasti, kelahiranku benar-benar meributkan.
"Mbah, mbah!" Bapak mengetuk pintu usang rumah Mbah Sinah. Berulangkali Bapak menggedor, namun tak ada jawaban.
"Mbah Sinah dines ke desa sebelah, Pak Halim," kata Bu Dermi yang kebetulan lewat.
"Yahh, istri saya mau melahirkan, Bu!"
"Waduh, ayo saya temani saja, Pak!"
Singkat cerita, mereka pun sampai di rumah. Ibu sudah mengerang kesakitan.
"Ibu tidak apa-apa kan-"
Lampu ruangan tiba-tiba mati, disusul lampu lain di rumah.
"Bu, bagaimana ini?!"
"Senter, senter?"
"Nggak ada."
"Coba tengok rumah lain, Pak."
"Lah, mati lampu sekampung!"
"Genset ada?"
"Ada dari mana Bu? Nggak punya lah saya."
"Terus bagaimana ini persalinannya? Saya tidak bisa lihat."
Bapak pun segera berlari keluar rumah. Digedornya pintu rumah Mbak Dian. "Saya cuma punya senter satu, Pak. Baru dipakai Mas Catur ke WC,"katanya setelah ditanya Bapak. "Ya sudah mbak, saya minta lilinnya saja kalau ada. Nanti saya ganti."
Setelah mendapat beberapa batang lilin, Bapak pun melesat kembali ke rumah dan menyalakannya satu per satu.
Setidaknya, mereka bisa bernafas lega.
Untuk sementara waktu.
Proses persalinan setengah jalan bak makan malam romantis itu sayangnya kembali tersendat.
Angin kencang berhembus. Lilin-lilin yang diletakkan tepat di bawah jendela itu pun goyah nyalanya dan...
"Aduhhh, orang mau lahiran susah amat, ya," keluh Bu Dermi. "Sudah larut ini, pasti tetangga lain sudah tidur."
Kemudian, Bapak keluar dari rumah dan menuju poskamling. Di sana, seperti biasa, pos kosong melompong tanpa orang berjaga. Bapak hafal betul pos itu hanya ramai saat musim bola. Lalu, dengan jengkel Bapak meraih kentongan yang tergantung di atap pos dan memukulnya keras-keras.
S. O. S
"Kegelapan! Kegelapan!" Bisa saja Bapak bercanda di waktu segenting itu. Yah, Bapak masih muda dan konyol saat itu.
Tak lama kemudian, muncul beberapa warga. "Saya kira orang gila, ternyata Pak Halim." Pak Brata datang dengan sebuah pentung di tangan.
"Ini darurat. Istri saya sedang melahirkan, malah mati lampu."
"Kenapa tidak datang ke rumah saya saja?" tanya Bu Zaitun. Letak rumah Bu Zaitun hanya beberapa meter dari rumah kami.
"Hmm itu..." aku bisa bayangkan muka Bapak saat itu. "Saya panik jadi... " sekali lagi, Bapak masih muda saat itu.
"Ya sudah, saya akan bawakan senter ke sana,"kata Bu Zaitun.
"Saya juga."
"Tunggu sebentar,Pak."
Tak butuh waktu lama hingga Bu Zaitun, Mbak Dian, dan Bu Eka sampai di rumah dengan senter yang mereka bawa. Pak Brata menyerahkan lampu emergency pada Bapak, sementara ibu-ibu ikut masuk ke ruang bersalin.
"Terimakasih Pak, Bu, "ucap Bapak yang terharu dengan solidaritas warga desa. Bapak pun memencet tombol power on lampu emergency.
Byar. Lampu ruangan hidup kembali. Pemadaman listrik telah usai. Dan suara tangisanku terdengar.
Barangkali itu yang membuat Bapak malu dan sedikit sensi padaku hingga saat ini. Senter-senter itu tak tergunakan sama sekali dan hujan petir pun mencegah para tetangga untuk pulang.
Setidaknya hingga pukul lima pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bittersweet Life
Fiksi RemajaSekelumit kisah Tera yang mungkin sama seperti apa yang aku-kamu alami.