Tigo

9 4 1
                                    


"Diamlah! Kau jangan menangis terus, kepalaku ini pusing, jadi mengertilah anak manja!!!" masih saja sama. Dia tetap memilih menangis dengan hebatnya juga mengeratkan pelukannya yang semakin menguat. Ya Tuhan, tolong sabarkan aku untuk ini..,

______________________________________________________________________________


Aku hanya akan diam kali ini, menunggunya untuk tenang mungkin adalah pilihan yang tepat. Dan benar saja, sepuluh menit berlalu, anak ini sudah tenang dan bisa diajak berkomunikasi. Setidaknya bukan dengan cara berkomunikasiku yang tadi. Membentak anak kecil mungkin adalah suatu larangan tersendiri mungkin.

"Kau sudah tenang? Mau segelas air?" tawarku lembut yang dibalas dengan anggukan. Segera kutarik sebuah gelas dengan setengahnya berisi air dan memberikannya pada anak yang baru saja tenang ini.

"Namamu siapa?" tanyaku lembut. Memulai sebuah integrosi yang sangat lembut untuk tidak membuatnya takut.

"Hovan Bratayudha, kak. Kalau kakak?" jawabnya setelah selesai meminum segelas air yang kuberikan. Lalu balik bertanya, dari nada bicaranya tersimpan rasa takut yang kentara. Dan aku tak peduli dengan itu.

"Untuk apa kau perlu namaku? Itu bukan hal yang peting untukmu! Aku punya ide yang bagus untukmu, kau pergilah dari sini dan carilah mamamu dengan orang lain. Jangan padaku," kataku pedas menyindirnya agar dia paham. Jika aku tak mau membantunya.

Kulihat matanya mulai berkaca-kaca, pertanda jika dia akan memulai sesi menangisnya lagi dan akan menjadi lama. Tapi aku bisa apa? Aku benar-benar tidak mau membantunya. Jangan tanyakan alasan apapun padaku, karena aku tidak punya alasan yang bagus. Intinya aku tak punya niatan untuk membantunya. Tidak apa jika ada yang menyebutku jahat atau hal buruk lainnya. Bagiku lebih baik jujur tidak ingin menolong dari pada menolong tapi di dalam hati tidak benar-benar tulus.

"Tapi kenapa? Aku hanya tahu kakak saja," katanya yang bibirnya mulai mengerucut dan air matanya juga sudah merembes lagi. Membuatku sangat heran, apakah dia tidak pusing jika terus-terusan menangis seperti ini.

"Tidak ada alasan apapun, aku hanya tidak ingin membantumu. Kuberi tahu kau tentang satu hal, tapi kau jangan menangis. Aku lelah melihatmu menangis," dia mengangguk menandakan jika setuju dengan penawaran ini.

"Hovan anak yang manja, cengeng, dan selalu menggangguku, kuberi tahu kau sebuah rahasia. Ini adalah rahasia umum tapi sangat jarang ada orang yang paham, yaitu, tidak ada yang bisa membantu kita lebih baik dari diri kita sendiri, jadi sebanyak apapun kau meminta bantuan pada orang lain, pada akhirnya tidak ada yang bisa membantumu lebih baik dari dirimu sendiri,"

"Tapi aku percaya dengan kakak pemarah,"

Demi apa?! Apakah aku tidak salah jika aku disebut dengan pemarah? Oleh anak cengeng ini? Semua manusia sepertiku mungkin akan menjawabnya iya, dan aku yakin dengan hal itu. Mungkin panggilan itu cukup cocok untukku, jadi mari kita anggap saja itu tidak pernah terlontarkan dari mulut anak kecil manja ini.

"Hei! Setidaknya jangan panggil aku dengan 'pemarah', itu sangat jelek dan tidak cocok padaku. Baiklah, aku akan memberi tahumu tentang namaku. Aku Frau Evanoa, panggil aku Eva. Paham?"

"Aku paham kak Eva, tapi kata mama jika ada yang mendekat padaku maka orang itu yang akan membantuku. Karena mama juga bilang jika semua manusia itu baik," jawab anak kecil ini santai dengan posisi memainkan rambut panjangku.

"Itu hanya pendapat mamamu saja. Aku tidak akan membantumu. Hovan, kuberi tahu kau sekali lagi! Aku tidak bisa membantumu! Mengertilah Bocah! Hidupku ini juga sudah rumit, jangan membuatku semakin rumit!" bentakku kasar sambil menepis tangan kecilnya yang berusaha meraih rambutku. Dan berakhir dengan aku memukul tangannya.

"Kenapa kakak mengatakan itu? Aku hanya kenal kakak dan aku takut sendirian. Mama menghilang, aku ingin bertemu mama,"

Aku sangat ingin menarik lengan kecil itu keluar rumahku sekarang juga. Tapi seseorang menyelamatkannya dengan suara teleponku berdering. Seseorang meneleponku yang tak lain adalah Bunda Mesa. Tentu saja aku akan mengabaikannya dan segera mengangkat telpon tersebut.

"Ya Bunda? Ada apa?"

"Apa kau benar-benar sakit? Aldi bilang jika kau pingsan di taman hiburan tadi. Kenapa kau tak pulang ke panti asuhan saja?"

"Tadinya begitu Bunda, tapi sekarang sudah lebih baik. Bunda tidak perlu khawatir,"

"Bagaimana Bunda tidak khawatir jika kau pingsan, kau harus pulang ke Panti Asuhan sekarang juga. Bunda tidak mau tahu!"

Belum sempat mengatakan apapun, seseorang menggangguku dari belakang. Hovan, anak itu, menggelayut manja di kakiku meminta untuk di gendong. Matanya yang berkaca-kaca, membuatku antara tega dan tidak tega. Aku berniat untuk menggendongnya, tapi urung setelah dia sendiri yang melompat ke dalam pelukanku.

"Bunda? Kau masih disana?"

"Bunda tidak mau tahu kau harus kesini! Atau Bunda sendiri yang akan kesana untuk menjemputmu,"

"Aku minta jika Bunda disana saja, aku..,"

Hovan tidak bisa diam selama dalam gendonganku. Dia terus menggeliat untuk menenggelamkan kepalanya di cerukku. Saat dahinya menyentuh permukaan kulit leherku dapat kurasakan jika dia sekarang demam.

"Bunda aku tutup dulu teleponnya."

Tepat setelah aku mematikan telepon itu, aku menurunkan Hovan. Membiarkan anak itu untuk di ranjangku. Decakan kesal seketika lolos dari mulutku. Tidak bisa kupungkiri, aku sangat tidak suka seperti ini. Ini sangat merepotkanku. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengirim pesan pada Aldi jika aku akan bekerja hari ini.

Biarkan aku memberi alasan yang bagus untuk kalian, aku tidak suka jika ada yang merepotkanku. Seperti saat ini, aku memang bukan orang baik-baik. Peduli setan dengan semua pendapat manusia yang tidak tahu apa-apa tentangku diluar sana. Siapapun itu, anak kecil, orang tua, teman sepantaran, atau hewan sekalipun, aku tidak mau direpotkan. Satu hal yang perlu kalian tahu tentang Frau Evanoa, Frau Evanoa disinilah adalah seorang antagonis. Bukan seorang perempuan lemah lembut yang baik hati dan entahlah sebutan apa itu pada orang lain.

Memang, aku bukan pembunuh atau psikopat. Tapi beginilah caraku hidup. Manusia bisa menilai orang lain hanya dengan mata mereka. Dan dengan cara itu pula aku membuat mereka hanya melihatku dengan mata mereka. Aishh.., apa-apaan ini?! Aku terlalu banyak bicara disini.

"Mama.., Mama..., Mama.., jangan tinggalkan aku. Aku takut sendirian, aku takut sendirian. Jangan tinggalkan aku, aku mohon," aku menolehkan pandanganku pada anak yang kini sudah jatuh tertidur di kasurku yang tidak terlalu lebar. Tanganku yang masih sibuk mengobrak-abrik lemari kecil ini harus terhenti, dan beralih menghampiri Hovan yang merepotkan.

Kulihat dia meringkuk kedinginan dengan air mata yang sudah meleleh membasahi pipinya. Tanpa sadar aku mengelap air matanya dan menarik selimut untuk menghangatkan badannya. Entah kenapa, rasa kesal yang menggebu-gebu datang padaku sesaat yang tadi tetap saja tidak bisa tergantikan dengan rasa khawatir pada Hovan. Jangankan khawatir, rasa yang lainnya saja tidak kurasakan selain kesal. Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon teman kerjaku. Sebenarnya aku akan mengatakan jika aku tidak akan kerja karena ada urusan. Dan urusan itu adalah anak menyebalkan itu. Sebelum aku ingin meneleponnya, dia sudah lebih dulu meneleponku.

"Halo? Eva? Hari ini toko tutup, aku hanya memberi tahumu,"

"Oh.., baiklah terima kasih,"





Xiona Zalea

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ananing AtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang