Prang.....
Suara pecahan porselen membuat Mama terkejut, lalu ia beranjak dari sofa yang ia duduki dan mencari asal suara itu.
"Astaga! Porselen kesayanganku!" Histeris Mama sembari mengambil salah satu pecahan porselen itu, memandangi pecahan itu dengan tangisan dramatis.
Mama mengepalkan tangannya kuat-kuat saat tahu pelaku yang memecahkan porselen kesayangannya. Wajah Mama yang menor karena make up yang tebal kini menjadi luntur karena kesal.
Plak!!
Gadis kecil yang tidak berdosa itu terisak dalam diam walaupun mengeluarkan air mata, gadis itu menyentuh pipinya yang mulai membiru akibat tamparan dari Mama tirinya.
"Kamu tahu apa tentang porselen ini, huh? Memangnya benda ini murah?"
Nada suara Mama semakin lama semakin meninggi, saking kesalnya dengan anak kecil di hadapannya yang terus menunduk.
"Hapus air mata sialanmu itu! Mengganggu aja" Suruhnya sembari melipat tangan di dadanya, buru-buru gadis kecil itu menghapus air matanya tetapi kepalanya masih menunduk.
Setelah cukup lama berdiam diri, gadis kecil itu membuka suara. "Maafin aku sudah berbuat ceroboh, Ma" Lirihnya.
"Apa? Cuman kata 'Maaf' memangnya bisa mengganti rugi porselen ini?" Gadis kecil itu menggeleng.
"Pasti gara-gara kamu bermain di ruangan ini dengan anak pungut itu, ya? Kalau benar aku akan membuang anak itu sekarang juga dan aku mungkin akan mengurungmu selama seminggu!"
Tanpa berpikir panjang, Mama segera berjalan ke kamar yang dipanggil 'anak pungut' itu.
Tentu saja gadis kecil itu terkejut, refleks memegang salah satu kaki Mama tirinya.
"Tunggu, Ma! Aku yang salah, dia enggak salah apapun,aku aja yang dihukum!" Cegah gadis kecil itu.
Mama mencoba untuk melepaskan tangan kecil milik gadis kecil itu yang semakin erat dari kakinya.
"Terserah aku mau ngapain, enggak usah kamu belain dia, minggir!" Gadis kecil itu terjatuh layaknya boneka, terjatuh dengan mudahnya karena tidak bisa menandingi kekuatan Mama.
Meskipun begitu, gadis kecil itu tak menyerah, ia berlari menghampiri Mama tirinya yang sudah berjalan berjarak 10cm. "Jangan, Ma.Mama jangan"
Matanya mulai berair lagi pertanda ingin menangis.Mama tirinya sangat tidak peduli akan kelakuan gadis kecil itu.
Lama kelamaan Mama jadi kesal karena gadis kecil itu terus merengek tidak jelas. "Cukup! Diam kamu, menggangguku saja "Gadis kecil itu menggeleng.
"Ma, aku enggak punya teman selain dia" Lirihnya.
"Aku enggak peduli"
"Ma..."
"Ampun, deh anak ini, minta ditampar lagi, ya?"
Tangan Mama sudah berniat untuk menampar lagi gadis kecil itu sementara gadis kecil itu memejamkan matanya agar tak melihat tamparan yang menyakitkan itu.
Tangan Mama kini melayang tetapi tangan tersebut diambang udara karena ada tangan besar yang menahan pergelangan tangan Mama.
Gadis kecil itu sudah menunggu tamparan Mama, tapi sepertinya ada yang mengganjal. Gadis kecil itu membuka matanya perlahan dan terkejut "Eh!"
Ternyata kedatangan Papanya lah yang menahan tangan Mama, Mama gelagapan saat ia berhadapan dengan Papa.
"Eh, sayang. Kamu udah pulang? Kok,enggak kabarin aku, sih?" Tanya Mama yang masih sempatnya berakting dihadapan Papa, padahal sudah terciduk.
"Aku udah kabarin kamu" Jawab Papa sembari membuktikan chatnya dengan Mama. "Tapi kamu sibuk membentak anakku, kamu mau ngapain lagi anakku?"
Wajah Papa yang menawan itu memerah menahan kesal.
"Dia sudah memecahkan porselen yang kamu berikan untukku waktu itu" Alasannya.
"Hanya itu saja? Di pasaran pun banyak seperti itu, aku bisa belikan kamu yang banyak sampai puas. Tapi anakku hanya satu yang paling berharga"
Sorry lah kalo banyak typo ato kurang memuaskan.
Wajarkan sajalah aku.
Thx....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidup
Short StoryRealita tak sebanding ekspektasi, benar kan? Buktinya Auris selalu dimarahi Mama tirinya yang sudah seperti orang gila. Bagaimana tidak? Auris saja tidak melakukan apapun kepada Mamanya, namun, tiba-tiba Mamanya memarahi Auris setelah itu. Ah, apala...