Dear Pelangi

123K 3.1K 162
                                    

Assalamualaikum

Mungkin ada yang bingung sama cerita ini. Wkwkwkwk.
Mohon maaf sebelumnya, alur yang kemarin terpaksa gue hapus. Padahal hampir selesai. Tapi pas hampir selesai itulah gue sadar, ada yang salah dengan alurnya. Jadi gue ubah semuanya. Gue mulai dari awal lagi. Karena menurut gue, cinta itu lebih pantas tertuju pada Tuhan bukan makhluknya. Bukan makhluk yang lemah itu yang membuat kita menyadari kehadiran-Nya, tapi Tuhan melalui perantara makhluk yang lemah itu. Jadi, gue ubah habis cerita ini.
Hihihihi.
Salam kece seperti biasa,

Carissa Aznii

____________♥

Dear Pelangi,

Kini aku sadar. Aku tak perlu iri pada hujan. Aku tak perlu iri karena hujan memilikimu. Tak perlu. Karena kini aku sadar. Aku punya Tuhan. Allahku. Dia lebih dari cukup bagiku untuk menapaki duniaku yang suram.
Aku tak perlu harta, jika akan membuatku lupa. Walau tanpa keluarga, Ia selalu menemaniku. Ada disisiku. Asal tak miskin imanku, tak miskin akhlakku, tak miskin ilmuku. Aku rela kehilangan segalanya asal tak kehilangan-Nya. Karena dengan-Nya, aku seperti punya segalanya. Lebih dari bumi dan isinya.

Amira Jasmine

♥____________♥

Ia menapak jejak di tanah ketika raga membawa lari pikiran menuju kelas yang harus diisinya kala itu. Tangan kanannya menenteng tas selempang. Tangan kirinya memegang helai-helai kertas yang ditulis setiap kali terlintas syukur. Membagi tulisan-tulisan itu di mading-mading kampus. Sekedar mengingatkan bagi mereka yang lupa untuk selalu bersyukur. Walau hidup tak punya apapun. Tak punya harta. Tak punya keluarga. Tak punya jabatan. Jangan sampai tak punya hati. Jangan sampai tak punya iman. Jangan sampai tak punya ilmu.

Kakinya menapaki kerasnya lantai. Disapa ratusan mahasiswanya yang mengilir mudik setiap hari di kampus kuning itu. Dibalas senyum ramah olehnya. Senyum yang berbeda dari bertahun-tahun lalu.

Tangannya dengan lincah menempel-nempel kertas itu di mading. Beralih dari mading satu ke mading yang lain sembari menapaki jalan menuju kelas. Hingga matanya menangkap poster besar di samping tangan kanannya yang masih menempel pada mading putih itu. Dahinya mengernyit lalu tangannya menarik kuat poster itu. Terpaku.

Detik berikutnya, ia berlari menyusuri koridor-koridor kampus menuju auditorium besar yang terpampang diposter itu. Lupa akan jadwal kelasnya yang akan dimulai sepuluh menit lagi. Ia malah menjejak langkah di ruang khusus seminar.

Tangan kanannya memegang erat poster itu. Takut poster itu jatuh dan menghilang pergi seperti lelaki itu. Ya, lelaki itu. Lelaki yang menghilang hampir lima tahun lalu. Menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun untuknya.

Kini lelaki itu muncul di depannya sedang melakukan seminar untuk program doktornya. Berkeliling Indonesia dan kampus ini adalah tujuan terakhirnya.

Membuat lemah kakinya tapi matanya tak lepas memandang sosok lelaki yang tampak lebih dewasa. Lebih banyak kerutan dahinya. Lebih berisi dari lima tahun sebelumnya. Mendendang mulut, menyuarakan isi proposal disertasinya hari ini.

Wajah itu masih sama walau bertambah usia. Masih berkarisma. Masih tajam tatapannya. Masih wibawa. Masih tegas pembawaannya. Tapi senyumnya tampak lebih ramah menyapa. Bukan menyapanya. Tapi menyapa para hadirin disini. Membuatnya terpaku namun tak lama. Bermenit-menit kemudian ia mengembangkan senyumnya. Sedikit lagi lelaki itu akan menggapai impiannya.

Ia menarik nafas dalam. Menatap wajah yang tak balas menatapnya. Lalu membalik tubuh dan menoleh untuk terakhir kali.

Sepertinya jalan takdir mereka memang diciptakan untuk tak selalu sama. Selalu berbeda.

Lebih IndahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang