01.

8 1 0
                                    

"Jangan tanya tentang sebuah alasan karna sebuah alasan saja tidak akan cukup untuk menjabarkan segalanya. Aku hanya sedang jatuh dan berharap seseorang akan menangkapku."

Bahagia itu sederhana tidak, sih? Apakah sesederhana saat setumpuk permen kapas yang terasa manis meleleh di dalam mulutmu? Atau saat melihat satu cup besar es krim rasa stroberi berada di tanganmu?

Sesederhana apapun yang Aerin tahu bahwa kebahagiaan itu adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk menjadikannya suatu kebahagiaan atau menjadikannya suatu kesengsaraan. Itu semua tergantung pada apa yang akan kau pilih untuk di jalani nantinya.

Tapi yang pasti Min Aerin tau bahwa yang ada di hadapannya sekarang adalah sebuah kebahagiaan yang tak mungkin bisa ia tutupi. Melihat kakak laki-lakinya bersanding dengan wanita pilihannya untuk berjanji menghabiskan waktu bersama dalam sisa hidup mereka. Aerin sedang mencoba melepaskan kakak laki-lakinya.

...

Mereka semua ada, berdiri berkumpul dengan semua wajah bahagia mereka. Semua yang Aerin sayangi. Orang tuanya, kakaknya bahkan beberapa keluarga yang memang hadir. Tak ada sedikitpun kesedihan terlihat dari wajah mereka kecuali satu, dirinya sendiri.

"Kenapa, ya manusia itu cendrung menginginkan hal yang tak bisa mereka raih?"

Aerin menoleh, memusatkan pandangannya pada arah lain yang sekarang mengalihkan tatapannya.

"Karna manusia sudah terbiasa berharap, jadi mereka hanya bisa berharap mendapatkan apa yang sulit mereka raih."

Tawa kecil terdengar setelahnya, tak ada yang salah dengan jawaban atau bahkan pertanyaan mereka. Mereka hanya saling mencoba membenarkan diri atas perkataan mereka sendiri.

"Selamat, ya..." Senyum manis itu terbit, bahkan entah kenapa terasa menular pada lawan bicaranya.

"...kau memiliki satu kakak lagi. Perempuan pula. Jadi setelah ini aku harap kau tidak lagi binggung untuk menceritakan semua masalahmu kepada siapa."

Aerin tertawa singkat, membenarkan sedikit gaunnya yang terlipat karna ulah angin. "Mungkin kau benar tapi sepertinya aku tidak tertarik. Masih ada kau, Park Jimin yang aku percaya untuk mendengar seluruh masalahku."

Angin meniup rambut keduanya dengan lembut membuat helai demi helai bergerak tak beraturan, kemudian menerpa tiap inci kulit mereka hingga merasa sejuk namun hati mereka saling hangat.

"Tidak lelah memandang dari jauh? Tidak ingin kesana dan menghampirinya?" Jimin yang tau sedari tadi Aerin hanya menatap ke arah yang sama, memandang dengan wajah hangat namun pedih yang juga terlihat.

Aerin menggeleng, "aku tidak ingin mengacaukan hari siapapun di hari bahagia ini. Lagi pula aku tak punya cukup keberanian untuk menghampirinya."

Aerin tau bagaimana rasanya jatuh cinta, rasa bahagia saat hatimu terasa seperti bunga yang selalu bermekaran, manis dan juga hangat, indah dan begitu cantik, harum dan juga menenangkan tapi Aerin lupa jika rasa bahagia selalu berdampingan dengan rasa sakit. Aerin terlalu bodoh untuk melupakan kebenaran bahwa rasa sakit itu bisa muncul bahkan saat kau merasa bahagia. Bahwa jatuh cinta itu tak selamanya berbalas.

"Seharusnya kau tau bahwa kau tidak bisa mencintainya bahkan berharap mendapatkan hatinya. Tidak akan pernah bisa." Jimin membenarkan rambut Aerin yang sedikit keluar dari sanggul rapinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SINCEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang