Nara masuk kamar. Ia semakin bingung entah mau ke mana. Meraih handphone kecilnya lalu mencari kontak atas nama Kak Mei. Kak Mei adalah Kakaknya yang selama ini merantau di Kota Malang. Bukan untuk bekerja. Melainkan untuk menuntut ilmu. Nara belajar banyak dari Kakaknya itu. Ketegaran Kak Mei saat mulai jauh dari orang tuanya tatkala ia memasuki jenjang SMA, kemantapan untuk merantau sampai kegigihannya mempertahankan juara satu di kelas. Sempat, kedua orang tuanya tidak setuju namun ia berjuang meyakinkan Ayah Ibu. Prinsip inilah yang ditularkan kepada sang adik.
"Kamu harus berani berbicara, Dek. Jangan hanya diam. Kalau kamu memilih menjadi seorang pendiam, hidupmu akan mudah diinjak orang. Direndahkan. Apa-apa yang nentuin orang. Ini hidupmu. Kok mau dicampuri orang lain." Kata Mei saat ia dan Nara dicibir oleh beberapa tetangga di kampung karena jarang sekali di rumah. Padahal mereka tidak tahu, alasan Nara jarang di rumah itu karena ia selalu aktif organisasi, lomba ke mana-mana. Ia sangat sibuk. Ikut Ibunya ke rumah tetangga saja tidak sempat. Apalagi mengorbankan waktu meladeni omongan mereka.
"Kak, sibukkah?" Pesan singkat itu rupanya melesat lambat. Sembari menunggu jawaban, ia membersihkan tumpukan buku di meja.
"Enggak."
Begitu ciri khas Mei. Meskipun terkesan cuek, Mei adalah Kakak terbaik bagi Nara. Ia mengerti apa yang Nara inginkan. Usia tak terlalu jauh membuat mereka nyaman saling bercerita.
"Kak, aku jadi sekolah kemana ini? Di sini apa di kota?" Tanyanya.
"Kalau menurutku, mending sekolah di kota aja. Tenaga pendidik dan fasilitasnya itu lebih memadai daripada di desa. Kalo kamu di kota itu enak, lokasinya terjangkau dengan tempat-tempat yang penting. Deket sama aku juga, kan? Nanti tak urusi semua administrasinya. Aku juga punya guru yang masih sering kontakan."
"Tapi, kira-kira diterima atau tidak? Kalau tidak diterima gimana?"
"Kalau kamu mau bekerja keras menuntaskan nilai Ujian Nasional bahkan melebihi kkm, ya pasti akan diterima, Dek."
"Aku loh, Kak, setiap hari belajar terus. Tapi, masih aja takut. Kadang ada minder-mindernya juga. Aku takut tidak diterima. Udah itu saja."
"Halah, mulai lagi deh pikirannya. Biasakan berpikir positif. Jangan nethink terus. Alam itu sesuai dengan pikiran kita."
"Iya ya. Ohya, carikan info tentang SMA 8, ya Kak." Pinta Nara"Cari sendiri aja, Dek. Ku sibuk banget."
"Hmm, kapan Kakak pernah santai? Gak pernah. Hmmmm. Kuliah aja."
"Hehhehehe. Sabar dong."
"Hmmm, yaudah, Kak."
"Udah ya, nanti kalo ada apa-apa tak telefon."
Percakapan cukup memuaskan itu akhirnya Nara tutup. Ia menuju rak belajar, mencari sesuatu. Tidak ada. Ia beralih ke laci kaca. Tak ketemu.
Nah, ia baru ingat bahwa yang ia cari ada di tumpukan boneka-boneka di atas tempat tidurnya. Rupanya sangat rahasia. Ah, bagaimana tidak? tulisan-tulisan tentang kehidupan ada semua di buku biru dengan cover lampu dalam gua itu. Tak lama, mengambil pena lalu mulai menari bersama perasaannya.
Memilih sesuatu menjadi awal.
Berpikir positif menjadi teman.
Hidup bahagia adalah tujuan.Begitu selesai menulis, ia membaca ulang. Mencorat-coret kembali. Pikirannya tak bisa konsen. Inspirasi untuk menulis tak ada. Ia bingung harus melakukan apa. Ayah. Satu kata yang diingatnya. Andai ia di sini, sudah pasti tak akan membiarkannya merenung sia-sia. Pastinya ia akan melakukan diskusi kecil-kecilan di dapur, sambil menunggu Ibu selesai memasak. Pak Yusuf dan dia akan membahas tentang lele di sebelah rumah, jeruk yang semakin hari semakin lebat, hingga motivasi dan semangat untuk berkarya atau jika tidak begitu, Ayah akan menyempatkan diri menonton TV bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Juli
Teen FictionSebaik apa pun rencana yang telah kita susun, kita tetap harus memberi ruang untuk menyimpan ikhlas tatkala rencana tersebut tidak terkabul.