SEKOLAH IMPIAN

12 2 0
                                    

Lembar demi lembar terlalui. Rentetan waktu yang disebut takdir ia jalani. Kini, lembar baru telah dimulai kembali.

"Nak, hati-hati ya di sana. Cepat kabari ibu kalau sudah sampai di Malang." Desah Ibu.

"Pasti, Bu."  Jawab Nara.
Ibu memeluk anak kesayangannya. Berpelukan.  Tak sampai lama, Bu Ainun melepas pelukan yang semakin erat itu. Pelukan yang terlihat seperti tidak rela jika ditinggalkan seorang diri oleh anaknya. Tak lama setelah berpamitan, tubuh mungil melaju di bawa oleh sepeda motor tua ke Malang.

Bismillah.

Perjalanan ke Malang membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Cukup lama. Beberapa kali perjalanannya harus terhenti. Terkadang masih mampir ke pom bensin, indomaret tak lain juga mengeratkan tali guna mengikat barang bawaan. Baju-baju yang ia bawa memang banyak. Membawa dua koper dan satu tas kecil.

Semakin siang, kendaraan serupa semut berjalan. Rasa gerah mulai membuat keringat berjatuhan. Sepeda motor yang sedari tadi melaju dengan kencang, beberapa saat kemudian terasa semakin pelan.

"Kak, sudah sampai di SMA 8?" Tanyanya.

Mei yang terlalu fokus pada jalan itu akhirnya membuka helm, berkata kalau sekolahnya sudah ada di depan. Nara tertegun. Benarkah? Benarkah sekolah besar itu akan menjadi sekolahku?

"Kak, kita ke toilet dulu ya." Pintanya selepas melepas helm lalu menaruhkan di kaca spion sebelah kiri. Mei mengangguk.

"Kak, ini sekolahnya?"

"Iya, Dek."

"Wihhh, besar banget, Kak."

"Ini hanya depan aja. Nanti kalau kamu masuk ke dalam malah makin bingung kamu, saking besarnya. Hehheehe" Ucap Mei.
Toilet dengan area parkirnya cukup jauh, ia melewati berbagai ruang, puluhan orang dengan penampilan.Muncullah rasa minder dan tak percaya diri. Nara menyegerakan langkahnya agar cepat sampai di toilet. Merapikan seragam dan kerudungnya. Memasuki toiletnya saja ia tercengang. Wih. Besar sekali. Ia membandingkan toilet sekolahnya dulu dengan toilet sekolah ini.

"Dek." Kata Mei. Perlahan semakin mendekat.

"Kita tidak perlu mengubah penampilan kita di depan banyak orang agar disukai. Kita tidak akan pernah bisa seperti mereka. Mereka pun juga tidak bisa menjadi seperti kita."

"Iya, Kak."

"Kamu sudah cantik dari dalam. Tapi, pemikiran negatif yang ada dalam benakmu membuat kamu kehilangan kecantikanmu sendiri."
Nara menunduk.

"Ayo, sekarang rapikan seragammu. Lalu kita daftar."

"Baik, Kak."
Setelah rapi dan terlihat tak dibuat-buat, mereka meninggalkan toilet. Bertanya pada pak satpam dimana ruangan yang dijadikan tempat Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB). Mei yang disusul Nara berjalan sedikit cepat menuju ruangan. Kok sepi? Yaa, ruangan itu sepi. Setelah berada di depan pintu, sebuah telepon genggam milik Mei berdering.

"Ya Allah, ibu. Kita belum mengabari ibu kalau kita udah sampai." Sempat panik sebelum menjawab telepon Ibu. Setelah terdengar suara di ujung sana, Mei berkata bahwa ia lupa untuk mengabari Ibunya.

"Halo, Dek. Ada yang bisa kami bantu?" Seorang berjanggut panjang itu menghampiri Nara.

"Oh iya, Pak. Saya mau daftar. Ini masih menunggu Kakak." Sopan. Itulah yang Nara lakukan.
Berkas-berkas sudah ia siapkan. Meminta kontak petugas sudah dilakukan.

"Empat hari lagi, silakan kemari melihat hasil pengumumannya ya, Dek." Pungkas lelaki itu.

"Iya, Pak."

Nara tersenyum dan meninggalkan sekolah. Sebelum menuju kos, Nara diajak Mei untuk makan pecel pincuk  terlebih dahulu. Warungnya tak jauh dari SMA 8. Mungkin sekitar lima belas menitan saja. Pecel pincuk adalah makanan favorit bagi Mei karena rasanya sedap dan harga sesuai jatah mahasiswa.

"Dulu Kak Mei kok memilih sekolah di SMA 8 kenapa?" Gumam Nara menunggu pesanannya datang.

"Takdir. Akakakaa"

"Ah, Kak. Ini seriusan."

"Aku empat kalirius loh. Kurang?"
Nara sedikit kesal dengan guyonan Mei.

"Kakak itu sebenarnya pingin sekolah di SMA 3. Kan Smantig itu favorit banget di Malang. Lah ternyata, rumah budhe itu jauh dari Smantig, nah yang paling deket itu ya SMA 8. Ya udah aku daftar ke sana. Awalnya. Aku sedikit kecewa sih. Tapi, semakin hari semakin nyaman dan suka. Entah sukanya karena apa. Padahal, dulu kayak gamau gitu sekolah di SMA itu. Ah takdir-takdir, lucu sekali dikau."

"Wih, kereeen."

"Ihh, alaynya kumat."

"Beneran. Keren."

"Yang keren itu Allah. Bukan Kakak. Tanpa Allah, kakak tidak akan pernah bisa berbicara seperti ini kepadamu. Di depanmu. Sebagai alumni SMA 8."

"Iya juga. Allah itu sangat luar biasa."

"Nah, mantap itu. Pokoknya serahin aja apa pun sama Allah. Allah tahu  semuanya tentang kita"

Motivasi-motivasi sederhana inilah yang selalu Nara tunggu-tunggu. Sejak kecil, Pak Yusuf mengajari kedua anaknya dengan cara yang sama. Selalu ikutsertakan Allah bagaimana pun caranya. Karena keyakinan kita akan mampu mempengaruhi perasaan.





























Satu JuliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang