Tengah menepi seekor rusa, langkahnya ringan, sayang ia gemetar dirundung cemas. Keanggunannya terhenti kala sepasang manik cokelat membidik ke tengah tundra.
Dilihatnya kawan, bukan lagi bermanik cokelat. Merah darah memenuhi urat matanya yang tak terlihat. Cemas itu terjawab. Namun, tak dipikirnya sang kawan melahap daging terhina.
Meneganglah rusa di tepian itu. Sembunyi di balik semak rendah, menatap gigi-geligi kawan dipenuhi najis kental sewarna hati.
Kawan mengunyah daging manusia.
Diketuknya kaki rusa di tepian ke tanah, memanggil kawan dalam ragu. "Hei," pikirannya bergaung.
Telinga sang kawan menegak, melirik liar mata merah itu. Terbidiklah yang di tepian.
"Apa yang kau lakukan?" tanya rusa di tepian dengan pandangannya. "Tidak seharusnya geligi putihmu mengoyak daging itu."
Kawan terdiam.
"Tidak sepatutnya," tegur yang di tepian.
Mata merah sang kawan membatu dikuasai nyalang. "Tidak sepatutnya."
Yang di tepian bungkam.
"Tidak sepatutnya daging busuk ini mencabut tandukku, tidak sepatutnya tubuh bau ini menguliti ibuku, tidak sepatutnya kulit najis ini memotong kepala ayahku, tidak sepatutnya raga iblis ini menembak kawananku, melucuti tulang, daging, kuku, dan jantung keluargaku. Tidak sepatutnya."
Termangu yang di tepian.
Kawan tersenyum puas, sematan merah mengalir bangga di sela-sela giginya. "Tak apa, Teman."
Masih termangu yang di tepian.
"Yang kau lihat hanya ilusi. Tidak mungkin kita lebih kuat dari mereka, tidak mungkin gigiku mampu merobek jaringan kokoh mereka, aku hanya seekor rusa. Aku hanya binatang. Lantas, apa arti kastaku dibanding mereka yang sempurna? Sampai tak ingat bahwa dahulu mereka berguru dari binatang juga.
"Tak apa, Teman. Mereka hidup berbahagia dengan penggalan tubuh kita di dalam kediamannya."
"Kita?"
"Ya. Kita."
"Tapi-"
"Yang kau lihat hanya ilusi. Kita ini sudah mati, Teman. Kita sudah tiada; punah. Darah di lidahku, hanya sebuah andai-andai. Jika Pencipta memberi kuasa lebih pada kita, aku bersumpah akan melakukan hal ini, dan aku tahu aku mampu."
"Lantas, mengapa tak kau lakukan?!"
"Pencipta melarangku. Jika semesta saja tunduk padanya, maka aku juga."
"Lalu manusia?!"
"Pencipta melarang mereka."
"Dan mereka tetap melakukannya?"
"Ya. Hanya mereka yang berani; yang tersombong di seluruh jagat raya."
Terdiam kembali yang di tepian. Geram wajahnya, merah matanya, liurnya nampak berbuih di sela-sela giginya, akan melakukan yang kawan lakukan.
"Makan mereka," pikiran kawan mengajak. "Hingga mereka dikumpulkan, dan Pencipta mengizinkan kita sungguh-sungguh memakannya. Tanpa tabir ilusi. Kita makan hingga butir terkecil tulang-tulangnya."
Keluarlah yang di tepian. Rusa itu melangkah, lantas berbisik pada daging tak bernyawa. "Kutunggu kau, di Hari Akhir."
Dan dikunyahlah daging manusia itu.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada Bumi
Short StoryApa jadinya jika bumi dan seisinya berkata: kami minta ganti rugi. - Kumpulan cerpen tentang bumi dan seisinya. [ CERPEN ] © k i r a n a d a Update setiap: (random) #1 dalam saveearth (8-04-2020) Sampul: potret oleh Marvin Kuhr