Kami adalah sekumpulan makhluk yang paling gemar tersenyum.
Senantiasa bergerak penuh kesabaran, tak pernah letih berpaling pada ketenangan, selalu senang dan ... lamban.
Sejujurnya, tak selamban itu. Ketika kami dalam keadaan bersukacita, kami mampu bergerak lebih gesit ketimbang biasanya, tetapi memang tak lebih lincah dari binatang-binatang lain. Kami menghabiskan perjalanan jauh di bawah permukaan laut, tetapi butuh kehangatan di atas pasir pantai seraya berjemur.
Sejak anak-keturunan kami menetas, mulut-mulut mereka membuka dan menutup, tersenyum, lalu bergerak tergopoh menuju laut bersama-sama. Pesisir adalah di mana kami singgah, sementara samudra adalah rumah sekaligus lalu lintas kami menyambung hidup.
Di bawah sana indah. Betul. Tak banyak suara, tetapi selama cahaya mentari masih sedikit menembus kedalaman air asin biru yang menghijau, kami menyaksikan biota laut yang turut menyambung hidup. Saling menyapa, berlalu-lalang, tertawa penuh warna. Lain halnya ketika cahaya mentari tak lagi menembus. Di palung sana, laut dan samudra lebih menyerupai angkasa di bawah permukaan bumi.
Biasanya, para monster laut mulai berkeliaran. Mulai dari hiu pedang, sampai paus purba yang sangat jarang menampakkan diri ke permukaan.
Beragam simbiosis terjadi secara alami, menyeimbangkan ekosistem kami.
Ketika segelintir dari kami mulai menyentuh renta, mereka bergerak lebih lamban, tentu tak lepas dari senyum yang tak pernah pudar. Terkadang kemalangan menimpa mereka yang kehilangan arah dan berakhir tersesat di pesisir sampai mati. Para penduduk kerap meneriaki penampakan tersebut: "Ada penyu terdampar!"
Itu dahulu. Penduduk, laut, dan kami berkawan dengan baik.
Aku adalah penyu tua yang tak kunjung mencapai renta. Meski lamban, otak di kepala lunakku ini masih bekerja baik, mengatur pergerakan anggota tubuh, termasuk navigasi yang membuatku seakan tahu garis lalu lintas samudra. Akulah si penyu, binatang yang senantiasa tersenyum.
Seratus dua puluh tahun usiaku, bumi hijau mulai memperkenalkanku pada bubungan asap nun jauh di permukimaan. Lambat laun menutupi kejernihan langit dan menusukkan udara yang menyakiti hidungku. Setidaknya, laut ini masih sangat luas untuk kuselami dan menyelamatkan diri.
Berenang puluhan mil, kutemukan pesisir lain di mana manusia-manusia bertubuh setengah telanjang bergelimpangan di atas pasir pesisir. Ada yang terlentang menantang matahari, ada yang saling melempar benda bulat, berenang-renang di air pantai nan dangkal, berlari-lari riang, sampai membangun istana kecil dari pasir yang dipadatkan air laut. Kuamati mereka semua dari jarak yang tak sampai tertangkap mata mereka. Ada pertanyaan dalam kepalaku, mengapa mereka semua memilih untuk telanjang bagai binatang? Bukankah makhluk-makhluk itu telah mengenal kain?
Malam tiba, para nelayan terbiasa berlayar. Jika perairanku tenang, aku sering menyembul ke permukaan sekadar memberi senyum mereka yang sering berkunjung. Para nelayan itu mencintai lautan, meski tak semuanya.
Ah, aku lelah. Barangkali menyelam jauh ke bawah samudra akan memberiku ruang rehat yang cukup.
Entah sudah berapa usiaku ketika aku membuka mata. Kulihat sesuatu yang amat berbeda.
Laut tak sebiru biasanya. Tak sabar akan perubahan apalagi yang bumi kejutkan padaku, aku berenang ke permukaan. Air kian keruh, dan kudapati sehelai benda tipis membungkus kepalaku. Aku bergerak mundur, menghindar, sebelum benda mirip kepala ubur-ubur itu memerangkap kepalaku.
Berenang ke arah lain, kutemukan tabung besi yang begitu tipis, dengan beragam corak air segar pada sekeliling permukaannya. Apa ini semua? Mereka tak terlihat indah.
Kemudian, kepalaku menyembulkan diri ke permukaan.
Ampuni aku wahai Sang Pemilik Samudra.
Sesuatu yang tak terhitung jumlahnya telah memenuhi lautan biru dengan kotoran yang bau. Jauh di pesisir, kulihat pemandangan yang mirip, hanya saja manusia-manusia itu jauh lebih banyak, dan tampak memegang benda-benda kotor ini di tangan-tangan mereka.
Suara nyaring menghampiri dari belakang kepalaku. Aku menyelam dalam, lalu selesat ombak buatan melintas di atasku. Aku kembali ke permukaan dan mendapati sepasang muda-mudi berada di atas mesin cepat dengan gagang sebagai kemudi dan baling-baling yang berputar teramat cepat di belakangnya. Perempuan di belakang pengemudi membuang sesuatu di laut; yang sama rupanya seperti benda yang hampir membungkus kepalaku.
Tahun-tahun berlalu, gedung-gedung tinggi semakin tampak di tengah daratan sana, asap putih membubung di udara, benda-benda yang kuketahui bernama plastik itu semakin banyak tenggelam di lautan. Menumpuk, tak terurai.
Aku bersedih.
Begitu pula kawananku. Kami mulai terluka dan berdarah. Senyuman telah luntur dari bibir kami. Kini, penyu-penyu tak pernah tersenyum. Sampah, sampah, dan sampah. Rumah kami adalah sampah bagi mereka. Biota laut mulai mati keracunan, kehilangan makanan, oleh sebab sampah-sampah yang tertelan dan terpendam di dalam tubuh mereka.
Kini cahaya mentari tertutupi dan oksigen tak banyak lagi. Kami tinggal menunggu mati.
Mereka jahat.
Jahat sekali.
-
[ KIRA'S NOTE] - agak kurang greget sih, tapi yaudalah ya muehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada Bumi
NouvellesApa jadinya jika bumi dan seisinya berkata: kami minta ganti rugi. - Kumpulan cerpen tentang bumi dan seisinya. [ CERPEN ] © k i r a n a d a Update setiap: (random) #1 dalam saveearth (8-04-2020) Sampul: potret oleh Marvin Kuhr