Cerita Ikan, Dipemancingan

66 30 22
                                    

Dua orang bocah yang tampak masih belia, mungkin berusia sepuluh tahun atau duduk dikelas dua SD, (sekolah dasar) tampak berlari-lari kecil dengan antusias.  mengenakan kaus berlengan pendek.

Menyusuri ilalang menjulang sampai kedada, menggangkat tangan menghindari sapuan  daun  ber tepi tajam.

Mencari posisi melempar kail yang sempurna. Setelahnya mereka berhenti di salah satu tepian sungai bertanah melandai.

"Sama saja,tidak bisa duduk kalau        disini." kata bocah berkaus biru.

"Disini sepi, ikan-ikannya pasti akan berani mendekati umpan kita." balas bocah berkaus merah.

"Oh.. Oh begitu kah? "

"Ya kita akan dapat ikan yang banyak, mungkin. "

Kail pancingan dilempar bersamaan. keduanya berjongkok didekat kail agak menjorok ketepian sungai .

Diatas tanah melandai ber rumput jarang ,mereka terus memendangi riak air sungai  tempat kail disematkan.

Air sungai yang mengalir  mengoyang-goyangkan senar pancing yang mengambang .

sesekali dedaunan berlewatan menyenggol senar pancing mengambang,.

Hanya beberapa dari manusia yang nekat memancing disiang bolong tanpa pelindung berupa payung atau cream matahari sebagai pelindung dari panas matahari. pakain mereka basah karena berkeringat, tangan mengipas-ngipas didepan wajah.

Kedua bocah itu juga mulai merasakan panas matahari menyapa kulit. Bocah berkaus biru mulai bereaksi terlebih dahulu. Meraih ember tempat calon ikan tangkapan mereka dan menangkupkanya keatas kepala.

Membuat bocah berkaus merah tertawa geli. Keduanya hanya membawa satu ember.

Jadi bocah berkaus merah tidak bisa berbuat serupa apa yang dilakukan bocah berkaus biru melindungi kepala dari panas matahari.

           
            †††______________†††

Panas matahari mulai melembut ditambah desiran angin sejuk menjemput sore.

"Kalau pancing kita adalah sebuah pancingan ajaib, ikan apa yang ingin kamu dapatkan?"kata bocah berkaus merah.

Bocah berkaus biru langsung berseru "Ah, tentu saja ikan Hiu, ikan terbesar di dunia, dilautan."

"Mana pula."mata bocah berkaus merah mendeliki

"Aku pernah menontonya, kalau tidak salah orang tipi (televisi) bilang paus biru adalah yang terbesar diautan." bocah berkaus merah menerawang jauh berusaha  mengingat -ingat ucapan orang dalam acara televisi yang dilihatnya. 

"Kalau dibandingkan dengan benda bisa sepanjang sembilan buah mobil  yang berjejer dan... beratnya bisa seberat lima buah gedung tingkatan sekaligus dan...."

Bocah berkaus merah merentang kan tangannya lebar-lebar
"Hiu saja bisa dimakannya."

"Ya ampun, is... is... is..." si kaus biru berdecak takjub, sekaligus ngeri sampai  kemudian mengeleng
"Tapi tunggu dulu, kata bang Saliem waktu dia berkunjung kerumah ku   ikan paus itu tidak makan daging."

Bocah berkaus merah mengangguk
"Di film Nemo (finding Nemo) yang aku tonton dengan kakak-ku pun begitu. Hiu nya tidak memakan ikan lainnya."

"Kok gitu?"

"Iya iyalah, kalau ikan besar memakan ikan kecil lainya, nanti bisa habis. Belum lagi kita juga ikut memakan ikan, bisa sepi lautan."

"Salah! Mana mungkin begitu. Ikan dilautan ada banyak sekali mungkin, jutaan atau miliaran tidak mungkin habis sekali makan. Apa lagi sampai-sampai lautan jadi sepi."

"Tapi tetap saja..."

"Ssttt..." potong bocah berkaus biru sambil menempelkan jari telunjuk dibibirnya.

"Kail mu."lanjutnya menunjuk pada kail yang bergerak tertarik-tarik Kerala air.
Mereka mendekati tepi sungai tempat kail bertengger mereka menancapkanya dibibir sungai Bertekstur tanah lembut.

"Bagaimana?"

"DAPAT...!! Aku dapat ikan, kailmu dapat tidak?"

Bocah berkaus biru menggeleng mengangkat kail pancingan nya.

Tidak sampai semenit ikan pancingan sudah berpindah tempat ke ember tangkapan.

"Kecil sekali. Tapi warnanya cantik."

"Kasian."

"Pelihara saja."

"Nanti ibu ku marah"

"Kenapa kok bisa?"

"Kata ibuku, aku malas mengganti airnya."

"Makanya jangan malas biar diperbolehkan memelihara ikan nya."

"Kamu saja lah."

"Ha?! rumahku terlalu kecil, tidak punya cukup tempat untuk menampung ikan. Bawa ini hasil pancingan kita, makanya pelihara saja."

Si kaus biru terdiam.

"Oy, jangan diam saja, sia-sia perjuangan kita memancing. Makanya besok jangan malas mengganti airnya, biar tidak dimarahi ibumu kalau memelihara ikan ini."

"Tapi airnya akan cepat sekali kotornya... "

"Nanti biar kubantu, setiap akan mengganti airnya beritahu aku."

"Iya, iya aku pelihara." Si kaus biru memeluk ember tempat ikan tangkapan mereka.

"Hoi!!" Teriak bapak tua dari seberang sungai dengan menenteng jerigen-jerigen kecil ditangannya. "Jangan mandi sungai." Teriaknya lagi "Bisa terbawa arus kalian nanti. Pulang sana!" Matanya mendeliki suram.

Kedua bocah itu saling berpandangan, wajahnya mendadak pucat ketakutan dan langsung berlari pergi.

Setelahnya berlari cukup jauh, tak lama terdengar suara teriakan dari ujung jalan. Keduanya saling pandang, kali ini tidak dengan tatapan ngeri dan larinya perlahan diperlambat. Teriakan yang tidak asing.

Bocah ber kaus biru mencelupkan telunjuknya menyentuh punggung si ikan kecil, sang ikan berlari kesana -kemari merasa panik.

"Tenang ikan kecil... kamu akan dapat rumah baru." Katanya dalam hati.

"Saat berlari tadi aku terpikir sesuatu"

"Apa?"

"Jika dihutan ada raja hutan sebagai penguasa."

"Singa maksud mu?"

Bocah berkaus merah mengangguk.

"Jadi menurut mu jika dilautan siapa yang lebih pantas  jadi penguasa lautan, Hiu atau paus?"

Bocah berkaus biru tidak menjawab sama sekali. Mereka terus berlari-lari kecil menghampiri ibu nya di persimpangan tengah berkacak pinggang dengan wajah panik.

"Ibuku pernah bilang kalau penguasa alam semesta dan isi-isi nya itu, yah Tuhan."

"Hmm.. "Bocah berkaus merah tersenyum lebar dan menganguk.

Mereka pun akhirnya berpisah di simpang  tiga menghampiri teriakan ibunya masing- masing.

#End#

              penuliskece2019
             #penuliskece2019

Akhirnya bisa🤗🤗🤗🤗🤗🤗🤗

Judul Standar - Tulis Judul Kamu SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang