1. Awal

49 3 0
                                    

Assalmu'alaikum

Selamat Hari Senin!
Selamat membaca cerita baru saya hwhwhe. 😄😄

"Baca dulu, respon kemudian."

"'

"

'

------------------------

Suasana pesantren Al Hikmah di pagi ini gempar, layaknya lebah seluruh penghuni pesantren sedang membicarakan berita yang besar.

"Masya Allah, Ustadz Zikri ganteng banget,"

"Mau jadi istrinya,"

"Besok mau daftar ah,"

"Ya Allah, jadikan Ustadz Zikri jodoh hamba,"

"Aku juga mauuu,"

Begitulah yang didengar Zikri ketika melintasi para santri.

Zikri menghadap abinya untuk meluruskan permasalahan ini. Ia pikir kurang nyaman menjadi buah bibir hampir seluruh penghuni pesantren.

Zikri berdiri di depan pintu kamar sang abi, dirinya gelisah mengenai berita mencari menantu bagi sang abi. Rasa cemas dan takut akhir-akhir ini selalu menghadangnya untuk bertemu dengan orang lain di pesantren ini.

"Abi," Zikri mengetuk pintu kamar sang abi pelan, takut apabila mengganggu istirahat abinya. Mengingat sekarang sudah memasuki pukul 10 malam.

"Masuklah," abi menjawab dari dalam, namun uminya yang membuka pintu dan melemparinya senyum manis umi.

"Zi, masuk saja. Abi sedang di dalam," Umi masih terlihat muda walau diusia yang hampir setengah abad.

"Iya, Umi."

Umi selalu patuh pada abi, selalu mengikuti kata abi, itulah salah satu keinginannya bila ia mempunyai istri. Seperti uminya. Umi selalu cantik dengan jilbab panjangnya dan gamis lebar yang menutupi aurat umi tanpa memperlihatkan lekuk tubuh seorang perempuan. Benar-benar istri idaman.

Umi berjalan menuju dapur, mungkin mengambil segelas air putih untuk abi seperti biasa.

Setelah puas mengantar umi ke dapur dengan tatapannya, dihelanya napas pelan lalu melangkah memasuki kamar orang tuanya.

"Abiii," mengambil perhatian sang abi yang sedang membaca daftar santri dan santriwati di Pesantren Al Hikmah.

"Hmm?" Kyai Rahman melepaskan kaca mata bacanya, lalu memandang putra tunggalnya yang sudah besar.

"Zikri kurang nyaman dengan berita yang beredar, Bi,"

Dengan suara yang rendah, Zikri mengatakan perasaannya.

"Memangnya kenapa?" abi mengkerutkan keningnya.

"Zikri belum siap menikah, Bi,"

"Kamu sudah mampu, Zi. Buat apa menunda-nunda hal baik?" abi duduk tegak di meja kerjanya.

Zikri menunduk mengamati lantai keramik persegi dengan kosong, "Tetap saja, Abi. Zikri belum siap."

"Kamu sudah 24 tahun, sudah siap. Sudah lulus S1, sudah bekerja, sudah baligh. Apalagi yang kurang, Zi?"

"Zikri belum ingin menikah,"

"Sekarang Abi tanya, kenapa kamu belum siap dan belum ingin?"

Abi meletakkan berkas yang baru saja ia baca. Umi datang membawa dua gelas berisi air putih untuk abi dan untuk Zikri. Umi meletakkan gelas itu di meja kerja abi.

"Emmm... anu Bi itu ... emmm...anu," Zikri tidak bisa melupakan gadis itu--

"Anu anu... ngomong yang jelas,"

Abi meminum air putih dari umi, sedangkan umi merangkul Zikri lalu menuntun anaknya duduk di ujung ranjang, agar lebih dekat dengan abinya.

"Masih memikirkan dia?" tebak abi. Ini dia yang membuat sang abi memberikan pengumuman berita itu. Agar sang anak tidak lagi terbayang-bayang dengan bocah perempuan itu.

"Abi, kita sudah sepakat tidak membicarakan ini bukan?" dengan senyum umi, abi pasi luluh.

"Bagaimana tidak umi, anak kita masih memikirkan bocah entah siapa itu,"

"Abiiii~" Zikri kurang senang dengan ucapan abinya.

"Hmm?"

Cari alasan yang tepat, cari, cari, cari.

"Zikri hanya belum menemukan pujaan hati Zi, Bi,"

"Bagaimana dengan teman perempuan kuliahmu, Zi? Atau ustadzah Aryna? Atau salah satu santriwati di sini?"

"Belum, Abi,"

Melihat pembicaraan kedua laki-laki di hadapannya yang belum menemukan titik temu, umi memilih mengganti topik pembicaraan.

Sebelum Zikri mengetuk pintu, tadi abi dan umi sempat berbincang sedikit mengenai santriwati yang hendak mendaftar. "Abi, bagaimana tadi mengenai santriwati baru?"

"Dia sudah terdaftar, besok tinggal masuk. Namanya Binar Almas," jawab abi sambil melirik sekilas pada berkas yang tadi ia letakkan bersama kaca matanya.

"Nama yang cantik," gumam umi dengan senyum yang masih bertengger di bibirnya.

"Benar," abi membalas senyum umi sama manisnya. Sepertinya Zikri sedikit terlupakan di sini. Baiklah, Zikri akan menyingkir dulu malam ini, mungkin besok baru akan ia bahas lagi.

Baru saja hendak pamit, abi sudah memanggilnya.

"Sebagai pengurus pesantren, besok urusi santriwati ini, Zi. Ini tugas pertamamu sejak menjadi ustadz di sini. Bantu dia."

"Baik, Abi."

Tidak ada jawaban selain mematuhi sang abi. Sebagai anak satu-satunya dan setelah kembali dari Jakarta sebagai dosen di universitas swasta, ia memutuskan menetap di kota kelahirannya dan membantu ayahnya mengurusi pesantren.


------------------------
"'
"
'

Tbc

3.6.19

Rusty

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Meminang BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang