TIGA

52 3 0
                                    

Pelajaran Matematika baru saja selesai. Pak Heri melangkah keluar membawa beberapa buku ditangannya. Anak-anak menghela napas panjang, lega terbebas dari intimidasi angka-angka bernilai juta-juta yang sekali salah hitung harus diulang dari awal. Begitu juga dengan Vania dan Viki yang mengekspresikan kelegaan itu dengan menenggelamkan wajahnya diatas lipatan tangan.

"Vik, sekarang jam siapa?" tanya Vania.

"Bu Tini." jawab Viki.

"Males banget gue pelajaran Ekonomi." keluh Vania. "Mana PR belum gue kerjain lagi." lanjutnya.

Sebenarnya hari ini Vania kurang tidur. Karena semalam ia harus menghabiskan waktunya untuk menonton Drama Korea atau Drakor. Ya, begitulah Vania. Lebih memilih menonton Drakor terbaru daripada mengerjakan tugas.

Menurut Vania, tidak apa-apa kalau tidak mengerjakan tugas. Asalkan Drakor yang ia tonton harus selesai terlebih dahulu. Masih mending di hukum oleh guru daripada harus berkutat dengan soal-soal. Melihat soalnya saja Vania sudah pusing, apalagi jika ia kerjakan? Bisa-bisa rambutnya rontok.

Kini keadaan kelas yang semula hening, mendadak berubah seperti pasar petek. Semuanya berlarian kesana kemari demi mendapatkan contekan PR. Ada yang berlari ke depan, belakang, dan ada juga yang muter-muter tidak nggenah. Ada juga sekolompok manusia yang sedang konser di depan kelas.

Bisa diibaratkan mereka seperti cacing kepanasan. Berjoget ria tanpa memperdulikan tugasnya. Mereka memberi nama band nya 'Kacung Kamvret.' Entahlah. Manusia di kelas ini memang sangat absurd.

Di depan sana terlihat Ali yang sedang berjoget diatas meja sambil bernyanyi, ada Iman yang sedang memegang penggaris panjang, namun cara Iman menggunakan benda tersebut seperti gitar, dan dia terlihat seperti gitaris. Ada juga Faizal dan Pasha yang tengah memukul meja, yang paling parah adalah Tio. Dia sedang memukul baskom kelas. Padahal baskom tersebut digunakan untuk cuci tangan. Dan sekarang, entah air yang ada di baskom itu menghilang. Entah diminum oleh Tio atau sengaja dibuang.

"Tio itu baskom kelas jangan dipukul, nanti bocor woi!" teriak Amel bendahara kelas

"Tenang kalo bocor gue ganti pake hati," balas Tio, teriak.

"Mana ada hubungannya njir," dumel Amel. Sementara Tio hanya terkekeh.

Viki memandang Vania dengan pandangan yang sulit diartikan. Keduanya memang sedang berada dibangku paling pojok.

"Napa lo liatin gue kaya gitu?" tanya Vania

"Heran aja sih gue, kenapa coba gue harus punya sahabat ogeb kek lo." jelas Viki

"Halah, gini-gini juga lo pernah suka."

Skakmat.

Viki dibuat kicep oleh Vania. Otaknya memutar kembali memori saat mereka masih kelas 9. Dulu, setelah melaksanakan UN, Viki menyatakan perasaannya pada Vania. Karena Viki merasakan ada debaran yang aneh saat berada di dekat Vania. Dia mencintai Vania secara tulus, tanpa ada maksud tertentu. Tapi sayang, cintanya ditolak mentah-mentah oleh Vania. Dia mengatakan bahwa lebih baik bersahabat seperti ini daripada berpacaran terus ujungnya mantan.

"Udah lah Van, ngapain diungkit lagi sih," keluh Viki

"Gue cuma ngingetin kalo lo pernah suka sama gue." kata Vania santai.

Hingga kedatangan seseorang membuat seisi kelas menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Sorry, gue ganggu ya?" tanyanya. "Gue cuma disuruh bu Tini buat panggil ketua kelas ini."

Semua orang mengarahkan pandangan nya ke Vania. Yang di tatap hanya memutar boleh mata jengah.

"Ketua kelasnya siapa, ya?" tanyanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang