Bagian 2 | Orang Tua Aletta

123 17 1
                                    

Kadang, Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan tempat berpulang kita, berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan karena dipenuhi oleh pertengkaran dan perselisihan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kadang, Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan tempat berpulang kita, berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan karena dipenuhi oleh pertengkaran dan perselisihan.

●●●


Panas terik matahari mulai menyengat kulit. Mobil Sedan Aletta perlahan mulai memasuki gerbang. Terlihat sang Satpam perlahan berdiri dan berjalan untuk membukakan gerbang itu. Mobil Aletta kemudian masuk dan terparkir di samping garasi. Aletta keluar dari mobil dan berjalan masuk ke rumahnya. Ia membuka pintu dan mengucapkan salam. Tak ada jawaban sama sekali. Sayup-sayup terdengar suara orang yang sedang bertengkar. Dan suara tersebut berasal dari kamar orang tuanya.

Mereka bertengkar lagi. Gumamnya.

Aletta melangkahkan kakinya menuju sofa. Ia duduk sambil mendengus kesal. Ia memijit kepalanya perlahan. Matanya terpejam. Pusing. Pusing sekali melihat suasana seperti ini lagi dan lagi. Kesal karena orang tuanya terus saja bertengkar. Kemdian, karena tubuhnya sudah benar-benar lelah, Aletta lalu bangkit berdiri dan kemudian berjalan menuju ke kamarnya. Kamarnya tepat disamping kamar orang tuanya. Tentu saja, suara mereka akan terdengar. Sangat jelas.

"Urusin aja terus sana bisnis kamu! Dasar gila harta!" Ibunya berteriak.

Langkah Aletta terhenti. Ia tertunduk dan memejamkan matanya saat mendengar ucapan ibunya. Wajahnya mendongak, kemudian, ia melanjutkan langkah kecilnya pergi menuju kamarnya.

"Apa?! Kamu ngatain saya gila harta?! Saya kerja begini itu buat kamu! Buat Aletta! Jelas saja saya lebih baik dari pada perempuan gila seperti kamu!" Bentak ayahnya membalas.

"Apa? Dasar gak tahu diri kamu! Seenaknya sekali kamu ngatain saya gila! Saya nyesel nikah sama~"

PLAKK*

suara tamparan begitu jelas Aletta dengar. Setelahnya, tidak ada suara sama sekali kecuali suara ayahnya yang berteriak;

"OH JADI KAMU NYESEL NIKAH SAMA SAYA?! KALAU MEMANG BEGITU, SAYA CERAIKAN KAMU!" Mata Aletta terpejam saat mendengar ayahnya berbicara seperti itu. Tubuhnya bergetar dan keringatnya bercucuran. Ia takut terjadi sesuatu kepada ibunya. Ingin ia marah, memberontak, dan mengeluarkan semua perasaan sesak di dalam hatinya ini. Namun, ia tak mempunyai cukup keberanian untuk melakukan hal itu.

Setelah suara tamparan tadi, tak terdengar suara apapun lagi dari dalam kamar orang tuanya. Namun, selang beberapa lama, Aletta mendengar suara pintu yang dibanting dengan keras. Sepertinya, ayahnya keluar dari ruangan tersebut. Segera Aletta berdiri dan berlari menghampiri ibunya yang terlihat sedang terduduk dilantai sambil memegangi pipinya. Aletta mencoba mendekati ibunya. Ia khawatir ibunya punya pemikiran yang buruk dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

"Ma, mama gak apa-apa? Aletta ambilkan minum, ya?" Tanyanya dengan raut muka yang sangat menunjukkan kekhawatiran kepada ibunya itu.

Ibunya mendongak, menatap Aletta dengan tajam kemudian mendorong Aletta dengan kasar sehingga membuat anaknya itu terjatuh.

"Minggir kamu! Semua ini gara-gara kamu! Nyesel mama ngelahirin anak gak guna kayak kamu! Kamu sama saja kayak papamu itu, sama-sama parasit buat hidup mama. Mama benci sama kamu Aletta! Kenapa kamu gak mati aja?! Kenapa harus aku yang menderita? Padahal seharusnya kamu dan papamu!
Dasar ayah anak gak tau diri!" Dengan wajah yang penuh dengan keringat, ibunya berteriak sambil menjambak rambut Aletta yang tadi terjatuh dengan kasar. Aletta hanya bisa meringis menahan pusing yang teramat sangat dikepalanya.

"M-ma, l-lepas ma, sakit" ibunya tak menghiraukan ucapan putri semata wayangnya itu dan terus menjambak Aletta. Kemudian, saat sudah melepaskan tangannya yang sedari tadi menjambak rambut Aletta, ia menampar anaknya itu dengan sangat keras.

Mata Aletta terpejam menahan sakit yang luar biasa di pipinya. Ibunya pergi setelah melakukan hal tadi, entah kemana. Aletta Hanya menatap kepergian ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. Perkataan ibunya tadi terngiang-ngiang dikepalanya. Hatinya benar-benar sakit apabila mengingat kembali semua kata-kata yang ibunya lontarkan kepadanya.

Rasa pusing yang menyerang Aletta bertambah. Aletta merasakan nyeri di pipinya. Sejenak ia juga merasakan adanya cairan yang keluar dari hidungnya. Ia mencoba meraba dan melihatnya namun, pandangannya perlahan kabur saat menyadari tangannya dipenuhi cairan bewarna merah. Ia mimisan sangat banyak. Ia sangat pusing sampai ia lemas untuk bediri lebih lama lagi. Tubuhnya melemah dan sayup sayup ia menengar suara mbok darmi, pembantunya, yang berteriak sebelum...

"Non Aletta ya Allah!"

Semuanya gelap.

~~~

Arga baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Terlihat Raden di kamarnya sibuk sekali bermain Game sambil tiduran. Arga kemudian berjalan menuju meja belajarnya. Raden yang melihat Arga sudah duduk manis di depan laptop itu langsung mendudukkan diri disamping Arga.

"Arga, gua rasa, sikap lo tadi ke si Anak Baru itu keterlaluan. Apalagi, dia kan cewek." Seru Raden sambil berkacak pinggang.

"Terus mau lo, gua gimana? Minta maaf padahal dia yang siram celana sama sepatu gua pake es? Kalau lo suruh gua minta maaf sama dia, gua gak ada waktu buat ngelakuin hal yang gak berguna itu." Raden terperangah stelah mendengar jawaban dari sahabatnya itu. Anak itu memang kelewat dingin. Ia bahkan tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Laptop yang berada di depannya.

Raden berdecak kesal. Kemudian dia menepuk bahu Arga sehingga perlakuannya membuat sahabatnya itu menoleh.

"Lo benci sama dia?" Tanyanya penasaran dengan mimik muka yang begitu serius. Arga tak menggubris perkataan Raden yang menurut nya tidak masuk akal dan kembali mengalihkan perhatiannya pada Laptop.

"Woi kampret, jawab lah pertanyaan gua!" Seru Raden sambil mendorong bahu Arga sampai cowok itu terlihat kesal dan menutup Laptopnya kemudian menatap Raden.

"Gua gak kenal dia siapa. Dari pada benci, gua lebih milih buat berhati-hati. Dia nggak akan jauh kayak cewek kebanyakan. Caper. Lagian, gua gak ada waktu buat ngomongin orang asing kayak dia." Jawab Arga tegas. Raden diam sebentar kemudian ia tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa lo ketawa, babi." Kata Arga sambil menjitak kepala Raden. Yang di jitak bukannya berhenti tertawa, tapi malah semakin terbahak-bahak. Setelah puas tertawa, ia mengusap sedikit air mata di sudut matanya. Ya, air mata karena ia terlalu banyak tertawa.

"Banyak gaya banget lu, Ga. Awas aja sekarang-sekarang lu benci tapi nanti malah jatuh cinta!" celetuk Raden yang kemudian dihadiahi jitakan kedua kalinya dari Arga.

"Teori benci jadi cinta gak akan selalu jadi kenyataan." Kata Arga bijak.

"Lagian gua gak benci dia. Gua cuma berhati-hati. Lo gak usah kebanyakan nonton sinetron alay makanya." Sambungnya.

Raden terperangah. Kemudian, ia tersenyum dan menepuk bahu Arga.

"Gua harap, lo segera menemukan cinta lo, Ga. Emang mau nge-homo mulu sama gua?" Tanya Raden sambil mengedipkan sebelah matanya centil.

Arga menepis tangan Raden dari pundaknya sambil menatap sahabatnya itu sinis.

"Najis banget sumpah." Kata Arga yang membuat Raden kembali tertawa.

Keduanya kemudian tertawa bersama. Arga sejenak bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan sahabat sebaik Raden yang bisa tahan menghadapi sikapnya yang dingin dan ketus ini. Arga berjanji didalam hatinya, bahwa ia tak akan mengecewakan sahabatnya yang satu ini sampai kapanpun.

MY SUNSHINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang