Bab 5

39 6 0
                                    

Luka Bai Qian sudah hampir pulih, gadis berambut panjang hitam kemerahan itu melangkah perlahan mengikuti arah suara kicauan burung. Kediamannya sangat dekat dengan hutan bambu, kebun pohon plum, dan persik.

Dia menghitung tiap langkahnya dalam hati. Walaupun mata tidak dapat melihat, tetapi gadis itu bisa mengandalkan indera yang lain. Dia meraba dinding dan pagar di sepanjang jalan untuk membantu perjalanan yang akan dilewatinya.

Kini sudah kesekian kali Bai Qian datang ke tempat kesukaannya dengan membawa seruling hijau dari bambu yang diberikan seorang teman masa kecil.

Permulaan memang sulit bagi si gadis, karena tiap melangkah dia akan tersandung atau tersungkur. Beruntung tiap kali hampir terjatuh selalu ada yang menolongnya, seperti saat ini.

Penciuman Bai Qian menangkap aroma manis dari buah persik yang sudah matang. "Harumnya, pasti enak."

Gadis itu perlahan duduk di ranting pohon yang setinggi pinggang. Tangan mungil mulai meraba kulit tumbuhan nan tegak di hadapannya hingga dia bisa berdiri di atas dahan melintang.

Dia menyandarkan tubuh pada batang pokok yang menurut Bai Qian kuat menopang berat tubuh. Sayangnya, kaki gadis itu tergelincir membuat dia kehilangan keseimbangan.

Saat gadis itu hampir terjatuh tangannya berhasil memegang sebuah ranting, tapi dahan tersebut tetap saja tidak kuat menahan berat tubuh dia. Seruling dalam genggaman si perempuan pun ikut terjatuh ke bawah.

Bai Qian pasrah menerima nasibnya,  tapi rasa sakit yang akan dia terima tidak kunjung dirasakan malahan dia merasa tubuhnya tengah melayang.

Sebuah suara berat menyadarkannya. "Anda tidak apa-apa, Putri?"

Lelaki itu perlahan menurunkan Bai Qian dari gendongannya. "Tidak seharusnya seorang tuan putri membahayakan dirinya sendiri."

"Ah, maaf. Aku hanya ingin memetik buah persik yang sudah matang," jawab Bai Qian dengan suaranya yang lembut.

Lelaki itu memapah Bai Qian ke bawah pohon. "Duduklah di sini sebentar."

Pria yang berpakaian hanfu biru tua itu langsung melompat ke atas dahan, dengan lincah dia sudah memetik beberapa buah persik. Gerakannya sangat terlatih.

Pemuda tersebut melompat turun dan melangkah ke tempat Bai Qian, kurang lima langkah lagi sampai di tempat si gadis. Kakinya tidak sengaja menginjak seruling bambu.

Gadis itu berkata, "Kau memetiknya untukku?"

Lelaki itu membungkukkan badan guna mengambil benda kecil tersebut. "Bagaimana Anda bisa–"

Perkataan pemuda itu terpotong oleh suara tawa Bai Qian. "Bagaimana aku bisa tahu? Itu pertanyaanmu, bukan?"

Song Yu menyelipkan seruling ke tali pinggang secara asal, lalu memberikan buah persik dengan memegang sebelah tangan kanan Bai Qian. Kemudian dia duduk di sampingnya. "Iya, ini untuk Anda."

"Terima kasih." Gadis itu langsung menggigit buah persik dengan wajah yang riang.

Bai Qian sambil mengunyah berkata,"Mataku memang masih tertutup perban, tapi aku tetap bisa melihat dengan mata hatiku."

Senyuman Bai Qian membuat hati Song Yu ikut merasa hangat, lalu pemuda itu mengembalikan alat musik tersebut pada si gadis.

"Ini punyamu, bukan?" tanya sang Panglima.

Gadis itu meletakkan makanan di pangkuan, lalu meraba seruling di tangannya dengan teliti. "Benar, ini punyaku. Ada tanda gambar pahatan di ujung sebelah sini. Aku juga baru tahu setelah kehilangan penglihatan. Ternyata tidak buruk juga kehilangan penglihatan sesaat."

Bai Qian meniupkan seruling yang tadi dibawanya. Semilir angin membawa terbang rambut panjangnya bersama alunan irama yang merdu.

Lagu ini … lagu yang pernah kuajari pada anak perempuan itu. Kenapa dia bisa? Jangan-jangan ….

Song Yu langsung melihat seruling yang ada digenggaman Bai Qian. Ada ukiran unik dipahat di pinggir benda itu. Gambar yang hanya diketahui lelaki tersebut.

Gadis itu menghentikan tiupan seruling saat mendengar suara berat yang memanggilnya. "Qian er, aku baru tahu kau bisa memainkan seruling dengan merdu."

"Salam hormat, Tuan Liu." Sang Panglima langsung berdiri dari tempat duduk dan menunduk hormat pada pemuda di depannya.

Keluarga Liu adalah salah satu tetua yang masih membantu dalam urusan Kerajaan Nakka.

Bai Qian tersenyum dan menoleh ke arah suara lelaki itu berada. "Rui, hari ini kau datang lagi. Apa tidak mengganggu pekerjaanmu? "

Chen Rui duduk di samping si gadis, lalu tangannya mengelus rambut panjang Bai Qian. "Tidak, aku lebih mengkhawatirkan dirimu. Bagaimana kondisimu? "

"Ah, sudah tidak perih dan sudah merasakan ada sedikit bayangan." Gadis itu mengangkat telapak tangannya seakan dapat melihat dengan jelas.

Chen Rui mengambil seruling dari tangan Bai Qian. "Aku tidak pernah melihat kau memainkan seruling."

"Ini hadiah teman pertamaku. Dulu kalau bukan bantuan dia, aku tidak bakal bisa keluar dari jebakan itu."

Bai Qian menghela napas. "Sayangnya, aku tidak tahu dia siapa."

Chen Rui menyemangati . "Tidak apa, saat kau sembuh kita akan mencarinya bersama, asal dia masih berada di Negara Qing Qiu."

Bai Qian mengangguk setuju. "Rui, aku tidak ingat rupanya, hanya pernah melihat sebuah tanda lahir di pundaknya."

Chen Rui menoleh ke arah Song Yu, karena merasa terganggu. "Panglima Song, bisakah kau meninggalkan kami berdua? "

Pria itu menunduk memberi hormat dan berkata, "Maaf, Tuan Rui. Hamba ditugaskan Yang Mulia Ratu untuk selalu berada di sekitar putri. Jadi, hamba tidak dapat menjalankan perintah ini."

Chen Rui menggepalkan tangan erat, menghela napas untuk meredakan amarahnya. "Baiklah, terserahmu saja, tapi kuharap kau menutup telingamu."

Sang Panglima hanya mengangguk kepalanya dan mundur sepuluh langkah dari tempat si Putri berada.

Pemuda yang berada di samping Bai Qian menceritakan apa yang dilihatnya saat ini. Sepasang kekasih bersenda gurau mengabaikan keberadaan sang Panglima dan Song Yu juga tenggelam dalam kenangan masa kecilnya.

***

Lelaki yang berpakaian jubah hitam itu melangkah pulang. Wajahnya terpasang senyum hangat membuat para dayang yang berpapasan dengan dia terpesona oleh ketampanannya.

Bawahan yang lain ingin memberi hormat dihentikan sang pemuda dengan mengibas tangannya. Saat dia melewati ruang kerja sang Ayah, Liu Tian. Pria paruh baya itu langsung menegurnya.

Pemuda itu tidak menyukai satu-satunya jalan menuju ke kediamannya, karena dia harus selalu menghadapi pertanyaan sang Ayah.

"Chen Rui, kau menjenguk dia lagi, kan?" Lelaki tua tersebut menghela napas dan bangkit dari duduknya.

Pemuda itu menatap sang Ayah dengan tidak suka. "Iya, Ayah. Apa aku salah mengunjungi tunangan sendiri?"

Liu Tian menepuk bahu anaknya. "Nak, jangan lupa pada misimu."

"Aku tidak lupa itu, Ayah. Jadi, Ayah tidak perlu ikut campur hubungan aku dan dia," jawab Chen Rui dengan nada sedikit kasar.

Pria paruh baya membalikkan badan dan melangkah kembali ke tempat duduknya. "Baiklah, kembalilah untuk istirahat."

Pemuda itu memberi hormat, lalu meninggalkan ayahnya dengan perasaan kesal.

Liu Tian menatap punggung Chen Rui yang menghilang di belokan, menghela napas berat dan bergumam, "Semoga kau tidak salah melangkah, Chen Rui."

***


Terima kasih para reader jika berkenan silakan tinggalkan jejak dengan memberi vote atau komentar. Makasih ^^

Maaf ya lambat up dan ceritanya kurang bagus juga harap dimaklumi. ^^

白浅 ( Bái Qiǎn ) Planet Zigrora SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang