1. Mengunci Ingatan

881 78 9
                                    

Sembuhkan lukamu yang membiru
Serpihan hatimu yang berdebu
Pagimu yang terluka
Malammu yang menyiksa
Hal yang ingin kau lupa
Justru semakin nyata

———

"Siang, Bahagia. Apa yang bisa saya bantu?"

"Gia. Panggil Gia aja, Dok."

Sinting. Aku pasti udah benaran sinting.

Sekarang jam 11:30 WIB. Harusnya aku udah di kantor. Melebur bersama tumpukan to do list hari ini. Nungguin detik-detik jam makan siang lalu bergegas ke warteg terdekat sebelum tempatnya ramai.

Bukannya face to face dengan Psikiater di rumah sakit.

Ini Gia. Atau Gila.

"Jadi gitu, Dok ceritanya." butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya aku bisa menyelesaikan duduk persoalannya. "Belakangan ini saya sering merasa sedih. Terutama pas lagi sendirian. Justru pas lagi kerja, saya semangat banget. Tapi begitu semua orang pulang dan tinggal saya sendiri, saya takut. Saya takut, Dok. Jantung saya berdebar gak karuan. Kayak lagi dikejar-kejar sesuatu tapi saya gak tau apa. Bahkan sesekali saya berhalusinasi."

Air wajah dokter Mey, psikiater yang sedang praktik ini tetap datar seperti tiga puluh menit yang lalu saat aku mulai bercerita. Melihatnya diam, kulanjutkan kembali ceritaku.

"Saya denger ada suara orang, cewek, teriak di kuping sebelah kanan saya setiap saya tidur. Udah tiga hari saya gak bisa tidur nyenyak. Bahkan buat merem aja takut. Saya kenapa, Dok?"

"Gi, sejak kapan kamu merasakan hal ini?"

"Dua bulan terakhir, Dok." Tepat setelah saya ditinggalkan pacar yang sudah saya kencani selama 6 tahun tanpa alasan apapun. "Sebelumnya saya sempat ngerasa blackout. Kayak... setiap ada hal-hal yang berkaitan dengan dia, saya bisa gak inget apa-apa dan pikiran cuma penuh sama dia. Sampe... gak sengaja jari saya keiris pisau."

Dokter Mey mengangguk pelan. Pandangannya masih diarahkan kepadaku, tapi tangan kanannya tak berhenti menulis di memo kuning miliknya dengan cepat.

"Ada perasaan lain yang kamu rasakan, Gia? Kapan terakhir kamu merasa paling senang?"

"Saat..." aku membongkar kembali ingatan yang sudah terkunci. Berusaha keras memisahkan memori buruk untuk mencari memori baik. "saya dilamar mantan saya, Dok."

"Berarti kamu udah gak sama dia lagi?"

"Iya. Dia sumber kebahagiaan saya. Sekaligus yang bikin saya seperti ini."

"Oke." Jemari itu kembali bergerak cepat. Dari sini bisa kulihat catatannya semakin banyak. Seperti setiap kalimatku disimpannya baik-baik. "Kapan terakhir kali kamu merasa bahagia?"

"Lima bulan lalu, Dok. Saat dia melamar saya."

"Dan saat tersedih kamu?"

"Saat dia..." airmata yang daritadi kutahan, kini meluncur pelan membelah pipi. "Tanpa alasan, pergi. Kerja di luar kota, kata teman-temannya. Tapi semua chat saya gak dibales. Telepon saya gak diangkat. Saya ke rumahnya pun, gak ada siapa-siapa. Dia ilang gitu aja. Itu yang bikin saya bingung. Saya salah apa."

Aku salah apa, El....

Dokter Mey menyodoriku sekotak tissue saat tangisku mulai tak terkendali. Beliau adalah orang pertama yang tidak menghakimiku yang depresi karena masalah percintaan. Reaksi yang berbeda ini lah yang membuat perasaanku semakin kacau.

"Kamu ingat ucapan terakhir mantan kamu apa? Sebelum dia pergi?"

"Kami memang sempet cekcok sebelumnya. Salah paham. Dia pikir saya mempermasalahkan pekerjaannya yang super sibuk itu, dan saya gak terima dengan kata-kata kasarnya. Padahal cuma gitu aja lho, Dok. Kami pernah berantem lebih parah dari ini. Tapi.. gak sampe kayak gini. Kami udah sama-sama serius. Kedua keluarga udah saling kenal. Saya gak tau musti ngomong apa ke orangtua saya, Dok. Mereka udah berharap besar dengan hubungan ini. Saking malunya saya, minggu lalu saya sempet kepikiran buat mati aja."

"Oke... Dengan cara apa?"

Sial. Suaraku tertutup batuk saat berusaha menyebutkan. "Nyilet tangan, uhuk, Dok."

"Tapi Gia lakukan?"

Cepat-cepat aku menggeleng. "Gak jadi. Selalu ada aja yang ngehalangin. Telepon kerjaan, chat dari temen, yah.. pokoknya ada aja yang ngedistrek saya saat pikiran itu muncul."

"Hobi kamu apa, Gi? Apa hal-hal yang membuat kamu senang?"

"Saya... dulu suka k-pop, Dok. Tapi sekarang malah jadi takut. Bahkan saya gak berani denger Spotify karena playlist kami berdua isinya Korea semua. Saya juga hobi nulis. Tapi muse saya dia. Jadi saya gak berani nulis lagi. Satu-satu sumber kebahagiaan saya hilang, termasuk kehadirannya. The fear is real, Dok. Semua lagu Korea mau se-happy apapun bisa bikin saya nangis dan degdegan gak karuan. Rasanya kayak mencekik saya pelan-pelan."

"Kamu berusaha buat ngelupain dia, Gia?"

Aku mengangguk pelan, berusaha menahan tawa sarkas yang menjadikannya seringai.

"Semakin saya berusaha buat lupain dia, semakin dia terasa nyata, Dok. Saya gak bisa... dia terlalu berharga."

"Baik, Gia." Dokter Mey akhirnya selesai menulis. "Dari cerita kamu tadi, saya tangkap kamu masih berharap dia kembali. Menurut kamu, apakah itu masih mungkin?"

Aku menggeleng lemah. "Seumur-umur kenal sama El, dia gak pernah semarah ini. Kalau sampe dia gak peduli, berarti dia memang mau nge-cut orang itu selamanya. Gak ada maaf. Biasanya dia seperti ini ke orang-orang yang dia gak sukain. Eh, malah kejadian ke saya juga."

"Dari cara kamu bercerita, sebenarnya kamu sudah mulai berusaha untuk mengikhlaskan kepergian mantan kamu."

"Saya... ikhlas?"

"Dari awal kamu enggan menyebut namanya. Lalu makin ke sini, kamu mulai berani menyebutnya dengan mantan. Sampe akhirnya kamu sebut nama dia."

Begitulah.. Dalam satu jam sesi konsul ini, 60% dihabiskan dengan menangis sampai sesak, 40% nya cerita. Itupun harus banyak dipancing Dokter Mey karena sulitnya aku untuk mengurainya satu persatu.

Datang ke profesional memang berbeda. Saat aku menceritakan hal ini kepada 2 sobatku, mereka memilih untuk diam dan mendengarkan. Sesekali ikut menajisi El karena sudah tega-teganya meninggalkanku, mantan tunangannya, tanpa alasan yang jelas. Dengan Dokter Mey, aku seperti dikupas habis untuk menceritakan semuanya secara detail dan mendalam. Makanya sesekali aku harus mengambil napas panjang karena memori yang dikorek terlalu pahit. Bahkan yang terbahagia sekalipun.

"Kamu datang lagi minggu depan. Sekarang saya kasih kamu obat untuk menetralisir mood. Sepertinya udah ganggu kerjaan juga ya? Ini saya buatkan resepnya bisa kamu tebus di sini atau di apotek luar. Fridepnya 1x sehari di siang hari, Depakote 1x di siang hari juga boleh, dan abilify di malam hari aja biar kamu bisa istirahat. Biar pikiran kamu juga jadi lebih cerah. Mari kita lihat efeknya minggu depan."

"Trus... saya ini kenapa, Dok?"

"Untuk sementara, kamu didiagnosa afektif bipolar. Episode depresif."

Bipolar... Bahagia Nala Al-Farizi seorang Bipolar.

"Kamu punya moodswing yang ekstrem. Bisa senang sekali, lalu sedih sesedih-sedihnya. Bahkan mulai berhalusinasi dan suicidal thought itu muncul. Jadi untuk menetralisir itu, saya beri kamu moodstabilizer ya. Biar kamu bisa kerja dengan normal lagi."

"Saya... gila, Dokter?"

Dokter Mey meraih tanganku yang masih menggulung tissue bekas airmata. Dipegangnya erat-erat seolah mentransfer kekuatan.

"Kamu gak gila, Gia. Kamu hanya sedang sakit. Sama kayak flu, ada obatnya. Dan kamu pasti bisa sembuh."

Dalam lima bulan terakhir, untuk pertama kalinya, aku berani berharap.

ReverieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang