Menjadi pewaris tunggal keluarga Malfoy bukanlah hal yang menyenangkan untuk Draco. Selama ia hidup ditengah keluarganya, ia tak pernah punya kesempatan untuk memilih. Pilihan itu memang selalu ada. Namun kodratnya untuk menerima pilihan yang dipilihkan ayahnya bukan untuk memilih sendiri.
Contohnya dalam memilih pertemanan. Crabbe, Goyle dan Pansy adalah pilihan ayahnya. Namun Draco lebih suka berteman dengan Slytherin lain seperti Theodore Nott dan Blaise Zabini. Setidaknya mereka lebih memiliki otak ketimbang Crabbe dan Goyle ataupun Pansy.
Lalu pelajaran-pelajaran yang akan diambil di Hogwarts. Itu semua pilihan ayahnya.
Dan beberapa hal lainnya, seperti masuk ke tim Quidditch asrama pada tahun kedua dengan sogokan berupa Nimbus 2001 untuk setiap pemain. Saat itu Draco merasa ayahnya benar-benar meremehkan kemampuannya. Padahal Draco yakin ia bisa masuk ke tim dengan kemampuannya sendiri bukan dengan sogokan. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menjalaninya saja.
Selain tidak pernah memilih, sebagai seorang Malfoy ia selalu dipaksa berlatih sihir dirumahnya. Waktu kecil, ia tidak menganggapnya sebagai sebuah paksaan karena ia menyukainya. Ayahnya mengajarkannya banyak mantra sederhana dan juga cara terbang dengan sapu. Sehingga saat memasuki Hogwarts, Draco benar-benar sudah siap.
Namun semuanya berubah hingga liburan tahun ketiga kemarin―ayahnya memaksanya berlatih lebih sering daripada sebelumnya. Yang bagi Draco benar-benar sebuah paksaan mengingat cara ayahnya. Ayahnya seakan tidak peduli dengan peluh yang membanjiri wajahnya sekaligus napasnya yang terengah-engah. Ayahnya mengajarkannya beberapa sihir hitam yang menguras tenaganya. Namun pria itu seakan tidak peduli pada kondisinya.
"Lucius! Biarkan Draco beristirahat. Sudah cukup pelajaran hari ini."
"Tidak, Cissy! Berhentilah memanjakannya jika tidak ia akan terus menjadi lemah!"
"Dia tidak lemah, Lucius! Dia hanya lelah! Biarkan dia beristirahat karena―astaga, Lucius! Draco putramu, bukan peri rumah yang bisa kau suruh kerja tanpa henti!"
Hingga setelah melewati perdebatan panjang dengan ayahnya, ibunya kembali dan menuntunnya dengan lembut kekamarnya untuk beristirahat. Wanita itu membersihkan peluh diwajahnya lalu mengusapi rambutnya hingga ia benar-benar terlelap.
Satu-satunya hal yang paling baik dari keluarganya adalah ibunya. Wanita itu selalu membela dan membantunya. Selalu melimpahkan kasih sayangnya untuk Draco dengan tulus. Itu sebabnya Draco begitu mencintai wanita itu dan bersedia melakukan apapun untuknya.
"Malfoy?" sebuah suara lembut menyadarkannya kembali dari lamunannya. Draco mendongak dan menemukan Hermione Granger tengah menahan tawanya sambil menatapinya yang sedang dalam keadaan berantakan, "Jadi semua yang kudengar itu benar? Kau baru saja diubah menjadi ferret oleh Profesor Moody, Malfoy?" dan tawa gadis itu meledak.
"Enyahlah, Granger!" bentaknya.
Dan Draco mendengus keras ketika Hermione justru mengeraskan tawanya.
Namun Draco tidak benar-benar merasa kesal. Justru sebaliknya, ia merasa senang dengan pemandangan dihadapannya sekarang.
Hermione dan tawanya.
Gadis itu terlihat berkali-kali lipat lebih cantik saat tertawa. Dan diam-diam Draco berterima kasih pada Alastor Moody hingga membuatnya melihat Hermione Granger tertawa dengan lepas dihadapannya langsung. Gadis itu tak pernah tertawa selepas ini dihadapannya.
Draco positif gila sepertinya. Ia berterima kasih pada orang yang merubahnya menjadi ferret dan mempermalukannya hanya karena seorang gadis?
Oh, Draco rasa benar-benar ada yang salah diotaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Our Story ✅
Fanfiction6 tahun bersekolah di Hogwarts, Hermione selalu mendatangi tempat itu. Padang rumput kecil yang tak pernah didatangi oleh orang selain dia dan―Draco Malfoy. Dramione. Semi Canon. Published at July 7th, 2016.