Semenjak hari itu, hubungan keduanya berjalan dengan lancar. Walaupun mereka tak pernah mengungkit jenis hubungan yang mereka miliki―namun bagi keduanya diikat oleh satu perasaan yang sama sudah cukup untuk melanjutkan hubungan mereka. Perasaan nyaman dan terlindungi satu sama lain.
Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama untuk mengenal satu sama lain. Bukan hanya dipadang rumput kecil mereka tapi juga dirumah masing-masing dengan saling mengirim surat melalui burung hantu saat liburan sekolah.
Draco tak tahu apa yang lebih menggembirakan lagi diliburan ini selain mendapati balasan surat Hermione. Begitupun dengan Hermione. Gadis itu bahkan terkadang sengaja membaca bukunya sambil menghadap jendela kamarnya saking tidak sabarnya menunggu balasan surat dari pemuda Malfoy itu.
Hermione mengerti dengan jelas sekarang mengapa ia sering mendapati guratan tertekan dan lelah dari pemuda itu. Pemuda itu telah menceritakan kepadanya seluruh masalah dan bebannya. Dan yang Hermione dapat simpulkan, pria itu tak sebahagia kelihatannya. Bahkan ia yakin Draco lebih tertekan dari apa yang pria itu ceritakan padanya. Dan Hermione merasa bodoh karena ia tidak bisa melakukan apapun untuk membuat pria itu keluar dari penderitaannya. Penderitaan batin yang harus ditanggung pria itu sejak lahir.
Namun mereka harus berhenti bertukar pesan saat ia mendapat kabar jika sahabatnya terkena masalah dengan kementrian. Ia memutuskan untuk mengunjungi keluarga Weasley yang akhirnya membawanya ke markas Orde Phoenix. Hermione jelas tak mungkin berbalas pesan dengan Draco dimarkas Orde Phoenix kan?
Berada dimarkas itu tiba-tiba membuat Hermione teringat dengan cerita Harry tentang malam ketika Cedric Diggory terbunuh.
Voldemort telah kembali.
Dan lebih parah lagi Lucius Malfoy kembali menjadi Pelahap Maut.
Dan fakta jika Lucius Malfoy adalah ayah dari Draco membuat Hermione semakin takut dan khawatir. Ia takut jika pada akhirnya Draco dipaksa menjadi Pelahap Maut oleh pria itu.
Ia kenal Draco Malfoy. Pemuda itu tidak akan sanggup membunuh orang-orang tak bersalah demi iblis bernama Voldemort. Hermione yakin itu.
Tapi mengingat cerita pria itu jika selama ini pemuda itu tak pernah dibiarkan memilih―Hermione tiba-tiba merasa khawatir.
Tapi pertanyaannya apa yang bisa ia lakukan selain menghibur Draco dengan kata-kata sakratisnya? Hermione ingin melakukan lebih dari itu, sungguh. Namun ia tak tahu harus melakukan apa.
Hermione hanya bisa berharap untuk bertemu pria itu secepatnya. Lalu, menghambur kepelukan hangat pemuda itu dipadang rumput favorit mereka. Itu satu-satunya hal menyenangkan yang bisa ia pikirkan dalam situasi buruk seperti saat ini.
―
"Aku terkejut Kementrian masih membiarkanmu berkeliaran dengan bebas, Potter," Hermione memeluk tas tangannya ketika mendengar suara yang begitu familiar ditelinganya. Jantungnya kembali berdetak tak normal ketika pria itu berjalan melewatinya dengan dua antek-anteknya, "Nikmati saja waktumu selagi kau bisa. Kurasa sudah ada penjara di Azkaban dengan namamu sekarang."
Semuanya yang ada disana begitu terkejut melihat Harry yang hendak menyerang Draco. Namun Hermione bersyukur karena Ron cukup tanggap hingga mampu menahan Harry yang tiba-tiba jadi mudah terpancing.
"Apa kubilang. Benar-benar sinting." gerutu Draco. Lalu pergi dari sana dengan Crabbe dan Goyle setelah memberikan tatapan rindunya selama beberapa saat pada satu-satunya gadis disana―Hermione.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Our Story ✅
Fanfiction6 tahun bersekolah di Hogwarts, Hermione selalu mendatangi tempat itu. Padang rumput kecil yang tak pernah didatangi oleh orang selain dia dan―Draco Malfoy. Dramione. Semi Canon. Published at July 7th, 2016.